KedaiPena.Com – Kementerian BUMN didesak untuk segera menyatakan bahwa PT PLN (Persero) bukanlah induk usaha dari holding BUMN energi yang akan digagas oleh pemerintah.
Pernyataan dari Kementerian BUMN sangat diperlukan agar kondisi sektor energi di Tanah Air kondusif. Hal itu ditegaskan oleh Direktur Eksekutif 98 Institute Sayed Junaidi Rizaldi di Jakarta, Sabtu (29/10).
“Jangan membuat stakeholder energi saat ini menjadi gamang dengan adanya pernyataan bahwa PLN yang akan menjadi induk usaha dari holding BUMN energi.”
Menurut Sayed, PLN belum layak menjadi induk usaha holding BUMN energi di tengah masih banyaknya permasalahan di tubuh perusahaan setrum pelat merah tersebut.
“Contoh kecilnya soal keuangan saja. PLN merupakan salah satu BUMN energi yang kerap mengalami kerugian. Inefisiensi di PLN juga lumayan besar. PLN butuh waktu untuk membenahi dirinya sendiri dulu. Jangan bebani PLN dengan persoalan baru,” jelas dia.
Sayed memberi contoh lain, misalnya terkait tarif yang tidak mencerminkan biaya, kebutuhan investasi yang tidak terpenuhi, dan tidak adanya economic returns yang memadai.
“Persoalan ini saja sudah menjadi kendala PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Belum lagi persoalan kebutuhan investasi PLN per tahunnya yang kerap mengalami kesulitan. Kasihan BUMN lain jika PLN yang menjadi induk usaha,†tegas dia.
Menurut Sayed, sistem keuangan dan kinerja PLN saat ini bisa dikatakan masih sangat amburadul. Dia mengutip Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2016 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berdasarkan pemeriksaan BPK, jelas Sayed, banyak permasalahan di PLN yang justru sampai saat ini belum terselesaikan. “Ketua BPK Harry Azhar Azis pernah mengungkapkan bahwa berdasar hasil pemeriksaan atas pengelolaan subsidi atau Kewajiban Pelayanan Publik (KPP), BPK menemukan permasalahan yang perlu mendapat perhatian,†jelasnya.
Sejumlah persoalan yang perlu juga segera mendapat perhatian PLN adalah, lanjut Sayed masih mengutip hasil pemeriksaan BPK, adanya kelebihan pembayaran subsidi tahun 2012-2014 senilai Rp 6,26 triliun atas penyajian kembali laporan keuangan PLN tahun 2012-2014.
Penyajian kembali LK PLN ini, kata Harry, sebagai akibat penghentian penerapan kebijakan akuntansi terkait perjanjian pembelian tenaga listrik swasta yang mengandung sewa dan sudah diatur dalam Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8.
Belum lagi audit BPK terkait efektivitas pengendalian susut energi listrik pada PLN Disjaya. Hasil auditnya menunjukkan, pelaksanaan kegiatan pengendalian susut energi listrik di PLN Disjaya kurang efektif.
Ini terjadi karena dua permasalahan. Pertama, panjang jaringan tidak sesuai ketentuan, feeder express berbeban dan beban trafo tinggi meningkatkan risiko susut distribusi.
Kedua, perencanaan perbaikan dan pemeliharaan jaringan distribusi belum memprioritaskan pada jaringan yang sering mengalami gangguan dan penyebab gangguan yang dominan serta tidak menggunakan data hasil inspeksi.
“Kinerja PLN yang tak sesuai standar akuntansi juga telah menyebabkan BPK memberikan predikat wajar dengan pengecualian (WDP) berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015,†kata Sayed.
Dia mengungkapkan, menurut BPK masih terdapat penyertaan modal negara (PMN) pada PLN sebesar Rp 848,38 triliun yang mengandung ketidakpastian.
Ketidakpastian itu sehubungan dengan tidak diterapkannya kebijakan akuntansi terkait perjanjian pembelian tenaga listrik swasta yang mengandung sewa seperti yang diatur dalam ISAK 8 pada Laporan Keuangan PLN.
“Sekali lagi kami tegaskan, 98 Institute sangat menyayangkan jika PLN yang ditunjuk Kementerian BUMN sebagai induk usaha. BUMN energ lain yang selama ini sudah on the track bisa malah kacau kalau PLN jadi induk usaha,†ujarnya.
98 Institute adalah sebuah lembaga kajian lintas disiplin ilmu yang dibentuk oleh para mantan aktivis 98 yang sangat konsen akan segala kondisi permasalahan di Tanah Air, mulai dari sektor energi, ekonomi, kemanusiaan, hukum, hingga politik.
(Prw)