KedaiPena.Com – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam menegaskan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang baru tidak boleh membebani rakyat. PNBP tidak boleh menjadikan negara bebas mengambil pungutan atas pelayanan yang diberikan kepada rakyatnya.
Demikian disampaikan Ecky kepada para wartawan mengenai progres pembahasan RUU mengenai revisi atas UU PNBP di Jakarta, Selasa (7/11). Ecky menjelaskan, salah satu poin krusial dalam pembahasan RUU oleh Panja ialah mengenai objek PNBP.
Objek PNBP selama ini ialah pelayanan publik yang diberikan oleh negara mulai dari yang bersifat kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan hingga yang bersifat administratif. Di sini harus jeli dalam merumuskan jangan sampai UU PNBP menjadi celah bagi pemerintah untuk mengurangi tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan publik yang prima.
“Sebab pelayanan publik adalah amanah konstitusi sebagaimana yang disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,†sambungnya.
“Idealnya memang pelayanan publik disediakan negara secara cuma-cuma. Tapi jika kemampuan negara belum memungkinkan, maka ada ruang di mana pengguna layanan dapat diminta kontribusinya untuk membiayai sebagian layanan tersebut. Nah secara prinsip PKS ingin agar kontribusi ini seminimal mungkin dan jika betul-betul diperlukan saja untuk meningkatkan kualitas layanan,†ujar Ecky.
Ecky menambahkan, selain itu yang juga tak kalah pentingnya dari meminimalisasi pungutan PNBP atas pelayanan publik, PKS juga ingin mengoptimalkan PNBP dari sektor sumber daya alam termasuk migas, pertambangan, panas bumi, kehutanan, serta, kelautan dan perikanan. PKS memandang optimalisasi PNBP dari sektor-sektor ini sebagai operasionalisasi dari Pasal 33 UUD 1945. PNBP SDA juga penting untuk sustainability atau keberlanjutan pembangunan, mengingat sebagian besar objek pungutannya dari sektor yang ekstraktif atau tak terbaharui.
“Ironisnya selama ini PNBP SDA ini masih jauh dari potensinya. Dalam dua tahun terakhir, PNBP SDA hanya berkontribusi kurang dari setengahnya PNBP. Di 2015 hanya Rp101 T dari Rp256 T PNBP, dan di 2016 anjlok hingga sebesar Rp65 T dari PNBP sebesar Rp262 T. Salah satu contoh kasus terkait PNBP SDA ini ialah temuan di tahun lalu dari hasil audit BPK mengenai tunggakan senilai Rp 21T dari lima perusahaan tambang. Tunggakan ini berasal dari tagihan negara berupa dana hasil produksi batubara (DHPB) atau royalti hasil tambang,†tegas Ecky.
“Terakhir, diharapkan dengan adanya UU yang baru kita punya tata kelola PNBP yang lebih akuntabel dan professional. Selama ini dalam PNBP masih ditemui pungutan-pungutan tanpa dasar hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN, serta PNBP yang belum/ terlambat disetor. Kita ingin masalah itu tuntas dengan tata kelola kelembagaan dan regulasi yang baik. Sehingga PNBP betul-betul menjadi instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan memeras rakyat,†tutup Ecky.
Laporan: Muhammad Hafidh