Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Mungkin saja, agak kurang dapat dipahami untuk menjelaskan kebusukan Demokrasi saat merujuk kegagalan FIS Aljazair, Partai Refah di Turki, hingga Hammas saat menang Pemilu dan mampu menempatkan Ismail Haniyeh sebagai Perdana Menteri di Palestina, beberapa puluh tahun lau. Seluruh partai ini menang Pemilu, namun kemenangannya diamputasi oleh sistem demokrasi.
Karena sejatinya, demokrasi sendiri tak akan pernah kompatibel dengan Islam. Demokrasi, adalah sistem politik untuk menerapkan hukum sekuler. Ketika parpol Islam menang, demokrasi tak akan mungkin menerapkan hukum Islam. Demokrasi tetap menerapkan hukum sekuler, dan menganulir kemenangan partai Islam.
Namun fenomena PKS hari ini, lebih kontras menunjukan rusaknya sistem demokrasi. PKS tidak menang Pemilu seperti Partai FIS Aljazair, Partai Refah di Turki atau Hammas di Palestina. Bahkan, PKS malah ikut menjadi partai yang kalah dalam Pilpres 2024.
Namun akhirnya, PKS yang tunduk, bersatu dengan kekuasaan. Sampai hari ini, tak ada satupun argumentasi yang bisa membenarkan bagi parpol dengan label parpol Islam, termasuk yang dilakukan PKS saat mengambil 2 kebijakan sebagai berikut:
Pertama, bergabung dengan Parpol yang mengusung Bobby Nasution di Pilkada Sumut, setelah sebelumnya sangat keras mengkritik politik dinasti.
Kedua, meninggalkan Anies Baswedan dan berkumpul dengan KIM Plus untuk mengusung RK di Pilkada Jakarta.
Namun, jika alasannya adalah pragmatisme, tentu itu dibenarkan. Karena dalam sistem demokrasi, seluruh parpol dan politisi pada substansinya memang pragmatis. Yang dikejar hanya kekuasan, bukan value.
Akhirnya, fenomena PKS hari ini dapat memudahkan kita umat Islam, untuk memahami hakekat sistem demokrasi tak akan kompatibel dengan perjuangan politik Islam yang basisnya adalah value, value untuk ibadah kepada Allah SWT dengan menegakkan hukum-hukum-Nya. Hukum Allah SWT tidak akan pernah diberi ruang untuk eksis dalam sistem demokrasi.
Bahkan Parpol Islam atau berbasis massa Islam, seperti PKS, PAN, PKB, PBB dan yang lainnya, ikut ikutan latah pragmatis. Saat ini, umat dapat mengindera dengan jelas bahwa tidak ada lagi perbedaan parpol Islam maupun nasionalis sekuler.
Fenomena ini, harus dijadikan rujukan untuk membangun kesadaran umat tentang perjuangan politik yang lurus bukan melalui sistem demokrasi. Akan tetapi melalui metode dakwah, yang mencontoh perjuangan Rasulullah SAW saat mendirikan Daulah Islam yang pertama di Madinah.
Seruan dakwah untuk menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah, melalui jalur dakwah (bukan jalan demokrasi), harus digalakkan sebagai arus maintream perjuangan umat Islam. Semoga, umat Islam semakin paham atas realitas politik yang terjadi saat ini.
[***]