KedaiPena.Com- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau FPKS DPR RI meminta polemik perbandingan pembanunan jalan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dapat disudahi. Pasalnya, telah terbukti jelas bahwa keberpihakan rezim pemerintahan Jokowi terhadap jalan tak berbayar masih sangat kurang.
Demikian hal itu disampaikan Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama menanggapi pidato calon presiden atau capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan yang memberikan kritik keras soal pembangunan infrastruktur jalan pada zaman Jokowi.
“FPKS meminta polemik perbandingan pembangunan jalan era Jokowi dan SBY ini disudahi. Telah terbukti jelas bahwa keberpihakan pemerintahan Jokowi terhadap jalan tak berbayar yang merupakan infrastruktur dasar yang dibutuhkan rakyat masih sangat kurang,” kata Suryadi sapaanya, Rabu,(24/5/2023).
Suryadi menerangkan, jalan yang dibangun di era SBY, terdiri dari nasional, provinsi dan jkabupaten/kota mencapai 144.825 kilometer. Hal ini, berarti 7,5 kali lipat dari jalan yang dibangun Jokowi yang hanya mencapai 19.293 kilometer.
“Jalan nasional yang menjadi tanggung jawab langsung pemerintah pusat pada era SBY terbangun 11.804 kilometer atau 20 kali lipat dari jalan nasional yang dibangun Jokowi yang hanya mencapai 592 km. Hal ini berbanding terbalik dengan jalan tol baru yang dibangun pada era Jokowi adalah sepanjang 1.848,1 kilometer atau 8,7 kali era SBY,” papar Suryadi.
Selain itu, tegas dia, Presiden Jokowi hanya membangun jalan tol yang berbayar 3 kali lipat dari jalan nasional tidak berbayar yang hanya 592 kilometer. Tapi, pencapaian pembangunan jalan tol era Jokowi tersebut bukanlah suatu hal yang istimewa sehingga patut dibanggakan.
“Sebab di balik proyek besar itu banyak menyisakan masalah. Tol Trans-Sumatra sejak beroperasi pada tahun 2015 sampai sekarang masih sepi. Di Sumatra, kendaraan lebih banyak untuk logistik perkebunan yang enggan lewat jalan tol karena lebih mahal. Begitu pula tol di Kalimantan, yang penggunaanya didominasi untuk pemerintahan ketimbang perekonomian,” papar Suryadi.
Suryadi menerangkan, hal ini menunjukkan pembangunan jalan tol pada era Jokowi lebih berdasarkan kemauan daripada kebutuhan sehingga studi atau kajiannya tidak matang. Ia menerangkan, studi atau kajian untuk proyek infrastruktur yang matang akan menarik perhatian investor.
“Pembangunan jalan tol di Indonesia, minim studi sehingga kurang diminati sehingga mayoritas pembangunan jalan tol di Indonesia paling besar dibiayai oleh utang dan kas negara,” tutur Suryadi.
Suryadi menekankan, dampak dari minimnya studi tersebut tidak menguntungkan. Pasalnya, tegas dia, trafik jalan tol tidak kunjung tumbuh sebab disepanjang jalan tol tersebut tidak ada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.
“Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan banyak masalah pada proyek jalan tol di Indonesia. Mulai dari perencanaan pembangunan yang tidak akuntabel hingga banyaknya kontraktor ikut menjadi investor. Selain itu, KPK juga menemukan potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,5 triliun,” jelas Suryadi.
Dengan demikian, Suryadi menerangkan, Jokowi cenderung lebih banyak membangun jalan tol yang berbayar yang merupakan infrastruktur perekonomian atau infrastruktur bisnis. Bahkan, kata Suryadi, jalan desa yang dibutuhkan juga masih sangat kurang dibangunnya.
“Begitu pesatnya pertumbuhan jalan tol yang berbayar dibandingkan jalan nasional tidak berbayar ini juga menunjukkan tentang komersialisasi pelayanan dasar yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Artinya, kebijakan pembangunan infrastruktur jalannya yang lebih mengutamakan jalan tol terbukti tak berpihak kepada rakyat, salah arah dan sebaiknya jangan diteruskan,” tandas Suryadi tegas.
Laporan: Tim Kedai Pena