Artikel ini ditulis oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi memang terancam jika sudah tidak berkuasa lagi. Terlalu banyak dosa politik yang diperbuatnya sejak memerintah pada periode kedua terhitung dimulai tahun 2019. Bahkan sebenarnya sejak periode pertama. Meski banyak pejabat berbasa basi bahwa Jokowi berprestasi dan berhasil, namun rakyat menilai sebaliknya Jokowi telah gagal. Jokowi dinilai lebih banyak menyengsarakan ketimbang menyejahterakan.
Upaya penyelamatan dilakukan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh oligarki yang berada di sekitarnya. Bayang-bayang tumbang dengan sejuta tuntutan rakyat menghantuinya. Sebenarnya upaya penyelamatan dengan berbagai rekayasa justru dapat menjadi boomerang yang membawa malapetaka bagi diri dan kroni.
Empat pintu yang dapat menumbangkan Jokowi dari singgasana karena ulah sendiri atau lingkarannya, yaitu:
Pertama, pintu penambahan periode atau perpanjangan masa jabatan. Penundaan Pemilu menjadi isu terdekat baik melalui kasus Putusan Pengadilan atas kesalahan KPU maupun dengan mobilisasi aspirasi penundaan Pemilu. Satu bulan jabatan Jokowi diperpanjang gejolak rakyat akan di luar dugaan. Perlawanan berbasis spirit penyelamatan Konstitusi.
Kedua, pintu pembongkaran skandal seperti kasus TPPU 349 Triliun yang akan merembet kemana-mana baik ke ruang Istana, partai politik, maupun aparat penegak hukum. Ditambah dengan skandal penyelewengan hukum melalui Perppu, Keppres dan Inpres. Ketiganya adalah kamuflase dari kebijakan otoritarian. Jokowi itu Presiden otoriter.
Ketiga, pintu ambivalensi yang terus berkulminasi. Tidak impor tetapi menggelontor, tidak hutang cuma sekedar pinjam, kendaraan nasional ya nasional China, cukup dua periode kecuali rakyat meminta, tidak boleh hidup mewah kecuali anak-istri dan mantu tercinta. Ketidakpercayaan rakyat menguat karena apapun kebijakan atau sikap politik di permukaan selalu berbeda dengan kenyataan. Lip service, kata mahasiswa.
Keempat, pintu keagamaan. Sejak masa covid dilakukan pembatasan ibadah, statemen pisah agama dan politik dan fitnah umat soal radikalisme atau politik identitas. Hal itu membuat goresan permusuhan. Sedikit lagi isu sensitif keagamaan dilontarkan, maka kemarahan umat Islam akan meledak. Benar pernyataan bahwa pada rezim Jokowi agama itu berstatus sebagai tersangka.
Api terus menjalar dan sedang mencari pintu. Dicoba ditahan dengan koalisi besar, yang menurut istilah kolumnis senior Ady Amar, kuali besar.
Jalaran api perubahan akan bergerak juga ke arah koalisi atau kuali besar itu. Di luar dugaan ternyata kuali ini adalah pintu baru untuk bunuh diri.
Ketika koalisi masih rentan maka koalisi besar itu sesungguhnya masih kecil. Apalagi yang menjadi dirigen adalah Jokowi sang Presiden yang sudah mendekati batas usia. Begitu koalisi besar terpecah oleh kepentingan masing-masing partai, maka bunuh diri masal mulai terjadi.
Pintu pun terbuka lebar memberi jalan kepada Jokowi untuk berlari cepat ke jurang.
Lawan koalisi besar adalah partai besar PDIP dan koalisi perubahan Nasdem, PKS, Demokrat. Tetapi yang bakal sukses tentunya siapa yang mampu menggalang koalisi rakyat yang lebih besar.
Api perubahan akan mengalir terus menuju kebersamaan yang bernama koalisi rakyat untuk perubahan. Melawan kekuatan ini Jokowi bakal tumbang. Mereka yang bersandar pada Jokowi cepat atau lambat akan berfikir ulang. Tidak mau sehidup semati di ruang remang-remang.
Jokowi boleh mati tetapi mereka tetap ingin hidup. Karenanya pilihan sehat adalah Jokowi harus ditinggalkan. Bye bye Jokowi.
[***]