Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Pemilihan Presiden (pilpres) akan dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan Legislatif anggota DPR (Pileg). Pemilihan serentak untuk pertama kali ini dijadwalkan 14 Februari 2024. Di tengah _presidential threshold_ 20 persen, banyak pihak merasa pesimis bahwa pilpres 2024 bisa lebih baik dari 2019. Apalagi kotak suara masih sama, dari kardus.
Dengan _presidential threshold_ 20 persen parpol tidak bisa bebas menentukan capres pilihannya. Mereka harus ‘berdagang’ dengan para anggota ‘kartel’ (baca ‘koalisi’) parpol lainnya. Parpol kecil akan mengekor. Parpol besar yang menentukan, karena mempunyai kekuatan negosiasi.
Karena itu, kemungkinan besar, masih cuma ada dua capres (calon presiden) pada pilpres 2024 ini, seperti pada 2019 dan 2014. Atau paling banyak tiga capres.
Di lain sisi, oligarki juga mempunyai pilihan capres sendiri, untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, sekaligus melipatgandakan kekayaannya. Tentu saja oligarki akhirnya yang menentukan, siapa capres yang harus didukung oleh para ‘kartel’ parpol. Karena oligarki yang akan mendanai biaya pilpres yang sangat mahal. Selain, mungkin juga harus membayar upeti?
Oligarki sepertinya akan berusaha agar hanya ada dua capres. Artinya, kiri-kanan ok: capres manapun yang menang tidak masalah, karena keduanya di bawah kendali oligarki. Kalau ini terjadi, tidak perlu ada ‘serangan fajar’. Tidak perlu bagi-bagi uang kepada rakyat. Tidak ada politik uang. Rakyat gigit jari.
Apapun yang terjadi, rakyat harus bangkit melawan sistem pilpres yang manipulatif ini. Rakyat tidak boleh diam saja dijadikan objek politik untuk memperkaya oligarki dan politisi yang mengkhianati suara rakyat, yang sekaligus menjadi aktor perusak bangsa dan negara. Rakyat tidak boleh diam, bersikap seolah-olah bangsa ini dalam keadaan baik, pemilu dan politik dalam keadaan normal.
Faktanya, negara tidak dalam keadaan baik. Demokrasi dan negara tersandera oligarki. Untuk keluar dari situasi ini, maka rakyat wajib melawan, dengan tidak memilih capres oligarki. Rakyat harus mengalihkan suaranya kepada capres non-oligarki. Kalau tidak ada capres non-oligarki, rakyat berhak untuk tidak memilih.
Tapi saat bersamaan, rakyat bisa memberi hukuman keras kepada parpol pada saat pileg. Jangan memberi suara kepada parpol yang mendukung capres oligarki. *Suara rakyat adalah suara Tuhan: _Vox Populi Vox Dei_*. Mari tunjukkan kekuatan rakyat yang sebenarnya.
Kalau _presidential threshold_ tetap 20 persen maka parpol baru tidak dapat ikut mendukung capres. kalau hanya ada capres yang semuanya merupakan representasi oligarki, maka rakyat dapat mengalihkan suaranya kepada parpol baru tersebut, agar mereka dapat menjadi kekuatan signifikan sebagai oposisi di DPR. Semoga parpol baru ini tidak mengkhianati suara rakyat, dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Parpol lama yang berpihak kepada oligarki niscaya tidak memperoleh suara yang cukup untuk memenuhi parlemen threshold, dan akhirnya tergusur dari percaturan politik. Untuk menghindari itu semua, diharapkan parpol kembali membela kepentingan rakyat. Tinggalkan oligarki, kalau tidak mau mendapat hukuman dari rakyat.
Hanya dengan perlawanan seperti ini, rakyat Indonesia diharapkan dapat terbebas dari parpol tirani dan oligarki tirani.
Pilpres dan Pileg serentak menjadi berkah bagi kebangkitan Indonesia, bagi kebangkitan rakyat Indonesia, bagi kebangkitan demokrasi Indonesia. Sebalikn ya, Pilpres dan Pileg serentak menjadi arena hukuman bagi parpol tirani dan parpol oligarki.
Semangat untuk kita semua dalam menyongsong tahun 2024, tahun pembebasan dan tahun kebangkitan kedaulatan rakyat.
(###)