Artikel ini ditulis oleh Bang Lunas, Anak Warung Kopi Pinggir Jalan dan Bukan Pengamat Politik.
Pendaftaran Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (capres-cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilihan Presiden (pilpres) tinggal 7 bulan lagi. Sementara, Pemilihan Umum (pemilu) serentak pilpres dan pileg (pemilihan anggota legislatif) tinggal 11 bulan atau tepatnya jatuh pada tanggal 14 Februari 2024.
Artinya terhitung sejak 14 Februari 2023 yang lalu sudah memasuki tahun politik, yaitu tahun dimana atmosfir politik tanah air mulai memanas, bahkan cenderung terjadi letupan-letupan kecil antara partai politik ataupun relawan salah satu pendukung capres-cawapres tertentu. Mungkin gegara sekarang musim penghujan jadi pada kedinginan kali ya.
Jauh sebelumnya, sejak pilpres dilakukan secara langsung pada 2004 di era reformasi. Setiap memasuki tahun politik parpol maupun relawan sudah pasang ancang-ancang mengguncang dunia persilatan perpolitikan tanah air melalui serangan udara, darat maupun laut. Kalau emang ada serangan laut dalam dunia politik sih.
Bahkan politik sandera, saling serang, dan buka-bukaan kartu trup kerap dimainkan untuk membuat jiper lawan-lawan politik yang berbeda pilihan berbalik arah, mengubah haluan dan akhirnya bergabung bersama dengan penuh keterpaksaan. Karena jika tidak mau bergabung akan berurusan dengan jeratan hukum. Barbar gak tuh? Kek, kelakuan anak pejabat yang aniaya bocah tanpa berperikemanusiaan itu.
Berbeda dengan kali ini, pilpres 2024 terasa landai tanpa turbulensi politik yang membuat rakyat terguncang, kalaupun ada hanya dinamika politik dengan intensitas rendah sebagai pemanis hadapi rutinitas hajatan demokrasi 5 tahunan.
Lah. Kok bisa gitu sih, Bang? Pasca Reformasi 1998 tiap mau pilpres kan biasanya sumpah serapah, caci-maki, saling menjatuhkan dan menebar kebencian sudah memenuhi beranda dan komentar dimedsos, Bang.
Nah. Itulah uniknya Indonesia, Ibu Pertiwi selalu menjaga sesama anak bangsa secara mekanis dengan caranya sendiri agar bisa hidup berdampingan dengan rukun, tenteram, nyaman dan aman di Tanah Air Tercinta ini. Iya gak sih.
Mengapa Pilpres 2024 sudah tidak seksi lagi?
Begini ceritanya Lur. Menurut bukan pengamat politik, musibah non bencana alam pandemi Covid-19 yang menimpah seisi semesta alam dibelahan dunia tidak terkecuali Indonesia, mulai membuka mata hati dan kesadaran pemimpin Indonesia akan arti penting bergotong – royong, bahu membahu, bekerja sama dan atau berkolaborasi untuk berjuang menyelamatkan bangsa dari keterpurukan disemua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau masih ada pejabat yang nakal juga sih memanfaatkan situasi untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya.
Memasuki pasca pandemi Covid-19, para pemimpin Indonesia semakin sadar akan arti penting persatuan dan kesatuan yang membuat bangsa ini mampu melalui masa-masa sulit yang penuh penderitaan dengan gemilang, walaupun tidak sedikit rakyat kehilangan mata pencaharian ataupun kehilangan sanak-saudaranya.
Kesadaran para pemimpin dan atau elit parpol untuk lakukan evaluasi perjalanan demokrasi di Indonesia pasca 24 tahun reformasi kian menemukan bentuknya.
Demokrasi adalah alat untuk mencapai tujuan cita-cita luhur kemedekaan Indonesia 17 Agustus 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dengan berlandaskan Pancasila yang Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pilpres 2024 bukanlah tujuan, pilpres 2024 adalah alat untuk mencapai tujuan.
Bercermin dari pilpres sebelumnya kerap kali melahirkan polarisasi yang memecah belah sesama anak bangsa. Masyarakat terbelah menjadi dua kutub yang berseberangan, dengan istilah cebong dan kampret, kini cebong dan kadrun.
Pemimpin dan elit parpol Indonesia kini mulai menggunakan “Kaca Benggala” atau “Koco Benggolo. Dalam Babad Mataram, “Kaca Benggala” diartikan cermin keburukan, yaitu kelakuan, perbuatan, kejadian yang tidak boleh ditiru atau diulang kembali.
(Bersambung)
[***]