KedaiPena.com – Kekalahan Ridwan Kamil–Suswono (RIDO) di Pilkada Jakarta sejatinya menunjukkan perbedaan potensial antara Prabowo dengan Jokowi. Prabowo tidak lagi memperdulikan hasil Pilkada itu sementara Jokowi ngotot agar protes lewat MK, tetapi RIDO lebih memilih tidak melanjutkan. Terlihat perbedaan keduanya makin mengemuka di publik.
Pengamat Ekonomi Sosial yang juga Ketua Dewan Pakar Asprindo, Prof. Didin S Damanhuri menyatakan peristiwa Pilkada Jakarta seperti refleksi atas perbedaan yang semakin nyata antara Presiden Prabowo Subianto dan sosok mantan presiden Joko Widodo.
“Melalui Sekjen Ahmad Muzani, Gerindra menyatakan, menghormati Hasil Pilkada Jakarta. Ini saya kira merupakan sebab RIDO tidak melanjutkan gugatan ke MK walaupun sebelumnya sudah menyatakan akan mengajukan gugatan,” kata Prof. Didin saat menemui awa media, ditulis Sabtu (14/12/2024).
Ia menyatakan pertarungan politik antara Jokowi melawan Prabowo sudah terlihat tanda-tandanya,walaupun mereka masih bertemu dan nampak baik-baik saja.
“Indikasi pertentangan antara mereka tidak hanya terlihat dalam menyikapi Pilkada Jakarta tetapi bahkan sebelumnya. Publik bisa melihat semua itu dengan terang-benderang,” ujarnya.
Perlawanan awal terlihat dalam pidato pelantikan Prabowo sebagai Presiden. Secara paradigmatik pidato itu mencerminkan bahwa orientasi pembangunan yang ingin dilaksanakan oleh Prabowo adalah berbasis kepada kepentingan rakyat. Ekonomi untuk rakyat, pembangunan dan kesejahteraan untuk rakyat. Dan orientasi yang dinamakan people centre development, yang bertentangan dengan masa Jokowi yang disebut oligarchy centre development.
“Pidato itu diulang lagi oleh Prabowo dalam pertemuan di luar negeri baik di APEC maupun G-20. Inti pidato itu adalah tekad untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan, mengurangi korupsi secara besar-besaran, mencapai swasembada pangan, kemandirian energi, dan melarang penggunaan APBN untuk kepentingan pribadi, keluarga dan lain-lain yang kesemuanya tidak terdengar keluar dari mulut Jokowi,” ujarnya lagi.
Ia menyatakan memang banyak yang kecewa dengan Kabinet Serba Gemuk milik Presiden Prabowo subianto. Tetapi, ia menilai, itu hanya gerak sementara agar tidak nampak perpecahan terlalu cepat. Bahkan, isu yang terdengar adalah hanya soal waktu Prabowo akan mere-shuffle menteri titipan Jokowi itu.
“Ketika menerima Jumhur di Istana, Sufmi Dasco bilang Prabowo menyatakan dalam waktu enam bulan ada pergantian. Yang menarik adalah terlihat elit-elit politik mulai menarik diri dari Jokowi. Misalnya, Menteri Perumahan dan Pemukiman Muararar Sirait menyatakan di komplek-komplek perumahan jangan sampai ada ‘negara dalam negara’. Belakangan dia bahkan menunjukkan kritik terhadap Aguan lalu minta dia bantu pembangunan tiga juta unit rumah. Ini kontroversal dari apa yang dilakukan Jokowi yang sangat lunak kepada Aguan,” kata Prof Didin lebih lanjut.
Kemudian Menteri Agraria dan Tataruang Nusron Wahid menegaskan bahwa perluasan PIK-2 yang merupakan titipan Jokowi untuk diteruskan itu, tidak sesuai dengan Tata Ruang. Perlawanan lain terhadap Jokowi adalah Menteri Desa Yandri Susanto menyatakan bahwa aparat desa yang selama ini dikerahkan Aguan untuk mengawal pembangunan PIK-2 menyalahi aturan. Mendes Yandri mencela tindakan para aparat desa membantu PIK-2 yang waktu itu masih diklaim sebagai PSN. Belakangan dinyatakan bahwa PIK-2 itu bukan PSN.
Yang paling fantastik adalah perlawanan rakyat Jakarta dengan bantuan Anies Baswedan dan pihak-pihak yang mendukung Pram-Doel memenangkan Pilkada Jakarta 2024 dalam satu putaran. Ini merupakan perlawanan nyata terhadap cawe-cawenya Jokowi di Pilkada serentak.
“Kalau saya review baik di medsos maupun di media-media umum yang menarik adalah publik makin menyadari bahwa sekarang bisa membedakan move-move Jokowi dengan apa yang mau dilakukan Prabowo,” ujarnya.
Misalnya, publik tahu bahwa naiknya PPN dari 11 ke 12 persen adalah sebuah persengkolkolan dari kalangan pengusaha yang selama ini mendukung pemerintahan Jokowi untuk menikmati nantinya adanya kenaikan PPN yang akan menguntungkan oligarki. Tetapi kemudian yang diputuskan di DPR lewat pimpinan Dasco bahwa PPN itu hanya untuk barang-barang mewah dan bukan untuk barang-barang pokok.
“Hal-hal lain adalah kalau kita melakukan content analysis secara umum, publik makin tahu bahwa ada operasi-operasi senyap yang inginkan Jokowi tetap eksis walaupun sudah tidak pegang kendali pemerintahan. Lalu beberapa aktivis yang dipelopori Refly Harun dan kawan-kawan menyatakan perlu diadakan kegiatan penyelamatan Prabowo dari ulah dan cawe-cawe Jokowi,” ujarnya lagi.
Sudah timbul pandangan umum yang mengesankan bahwa Jokowi merupakan pemerintahan yang buruk dan menimbulkan kesengsaraan kepada rakyat. Dia telah membentuk oligarki yang kuat dan makin memarginalisasikan rakyat baik ekonomi maupun politik. Karena itu harus dilawan dengan cara dukung Prabowo untuk keluar dari bayang-bayang Jokowi.
“Pertanyaan besarnya adalah apakah pertarungan politik antara Jokowi yang ingin tetap mengendalikan pemerintahan dan berambisi mencalonkan putranya Gibran untuk menjadi Presiden entah di tengah jalan atau di 2029 dengan dukungan oligarki bisnis bisa diredam oleh Prabowo? Kita akan lihat apakah cengkraman Jokowi makin kuat atau Prabowo berhasil keluar dari pengaruh Jokowi,” kata Prof Didin.
Ia menegaskan, bahwa di situlah The Battle Front yang akan terjadi dalam politik Indonesia di masa datang. Prof Didin meyakini rakyat pada umumnya mengharapkan bahwa platform Prabowo yang berniat menjadikan ekonomi dan pembangunan untuk rakyat, akan membawa angin baru untuk mengoreksi akibat buruk dari 10 tahun pemerintahan Jokowi. Di situ publik harus mengawal agar Indonesia diselamatkan dari praktek-praktek demokrasi anti rakyat dan terus mengawal agar Pemerintahan Prabowo benar-benar ingin mewujudkan ekonomi dan pembangunan untuk rakyat.
“Pesan saya, Prabowo harus mau mengoreksi demokrasi yang tatanannya rusak oleh Jokowi selama 10 tahun terakhir ini. Termasuk membenahi rule of law negara hukum agar Indonesia selamat dan mencapai apa yang dicitacitakan sebagai Indonesai Emas 2045. Kalau tidak, maka kita tidak tahu entah bagaimana nasib Indonesia di masa depan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa