“GA bisa ga, kita memang harus revolusi!†ujar seorang teman kepada saya ketika bertemu dalam satu diskusi publik, akhir September silam, usai PDPI resmi mengumumkan mengusung Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan Cagub/Cawagub pada Pilkada DKI Februari 2017.
Buat teman saya yang memang aktivis pergerakan itu, adalah sangat tidak masuk akal PDIP, partai yang selalu mengklaim diri sebagai Partai Wong Cilik, mengusung Basuki. Pasalnya, dalam dua tahun menjadi Gubernur DKI, dia berlaku sangat bengis terhadap rakyat jelata. Penggusuran brutal ratusan titik permukiman sepanjang 2015 dan 2016 adalah jejak nyata betapa Basuki sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil.
“PDIP tidak lagi menjadi partai wong cilik. PDIP sudah berubah jadi partai pendukung wong Cino. Berapa triliun duit yang Mega terima sebagai setoran dari para Taipan Reklamasi itu?†tukas teman tadi, kian gusar.
Kali lain, saya betemu kawan lainnya. Dia adalah aktivis Islam yang punya massa dan jaringan. Dia juga kecewa berat, saat koalisi empat Parpol yakni Demokrat, PKB, PPP, dan PANÂ resmi mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Silviana Murni sebagai pasangan Cagub dan Cawagub. Seperti melakukan koor dalam mengecewakan publik, Gerindra dan PKS pun mengusung Anies Baswedan yang tiba-tiba muncul berpasangan dengan Sandiaga Uno.
“Sampah. Semua sampah! Semua transaksional. Semua kriminal. Benar-benar mengecewakan!†tukasnya uring-uringan.
Munculnya nama Anies yang tiba-tiba benar-benar tidak bisa diterima akal sehat teman yang aktivis Islam tadi. Terlebih lagi, gosip di luaran menyebutkan Anies adalah proksinya Jusuf Kalla yang sudah lama dikenal berfungsi sebagai Pengpeng; alias penguasa merangkap pengusaha. Konon, JK memerintahkan iparnya Aksa Mahmud dan bos Medco Arifin Panigoro untuk membayar mahar sekitar Rp500 miliar kepada Parpol pengusung. Dapat dipastikan, ada kepentingan bisnis dahsyat di balik penyorongan Anies.
“Bagaimana mau menang lawan Ahok? Yang diajukan calon abal-abal. Ini ibarat semangka lawan duren!†katanya lagi, makin uring-uringan.
Soal mahar inilah yang membuat tokoh nasional Rizal Ramli dan Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra terpental dari pusaran ganas Cagub. Mereka berdua tidak punya uang untuk memenuhi syahwat Parpol. Padahal, keduanya dianggap memiliki kapasitas, kapabelitas, dan integritas yang mumpuni. Sayang, saat bicara ‘isi tas’ keduanya harus keok.
Miniatur Pilpres
Apa yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 adalah miniatur dari Pilpres 2019. Bagaimana para pencoleng reformasi yang bercokol dan menguasai Parpol begitu dominan menentukan calon. Di benak orang-orang nir-ideologi ini hanya ada dua hal yang maha penting; uang dan kekuasaan. Dengan kekuasaan mereka mengumpulkan uang. Dengan uang mereka membeli kekuasaan!
Kita, rakyat Indonesia, tentu tidak ingin para petualang ini kembali malang-melintang dalam Pilpres 2019. Kita tidak mau Parpol-parpol kemaruk itu menepis tokoh-tokoh mumpuni dengan rekam jejak yang jelas untuk maju, hanya karena mereka tidak mampu membayar mahar. Kita tidak ingin kelak, rakyat hanya disodorkan calon-calon bermasalah yang sama sekali tidak kompeten memimpin NKRI. Negeri besar, dengan lebih dari 250 juta penduduk!
Pada titik ini, sudah semestinya seluruh rakyat Indonesia bersatu mendukung Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Capres yang diusung partai politik baru. Lewat keputusan MK tersebut, semua Parpol, baik lama maupun baru, berhak mengajukan Capres dan Cawapres pada Pemilu 2019. Ini artinya, terbuka peluang munculnya para tokoh yang benar-benar layak menjadi Presiden RI. Tokoh ini harus berintegritas, punya kapasitas dan kapabelitas.
Selain itu, dia juga harus mengerti dan bisa menangani persoalan. Yang tidak kalah pentingnya, Capres-Cawapres itu harus berani. Kombinasi mampu dan berani ini penting. Karena banyak orang yang bisa tapi tidak berani. Sebaliknya, banyak juga orang yang asal berani tapi tidak punya kemampuan apa-apa. Mampu dan berani hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya kepentingan; orang-orang seperti ini adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri.
Bayangkan, jika pada 2019 muncul calon-calon dengan kualifikasi seperti ini, maka orang-orang yang dijagokan Parpol yang hanya bermodal uang, dapat dipastikan bakal tergusur. Sebaliknya, mereka yang berintegritas dan punya kapasitas berpeluang lebih besar untuk mengabdikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membangun Indonesia baru, Indonesia yang lebih baik. Indonesia yang maju, yang rakyatnya sejahtera, Indonesia yang disegani di ranah global.
Tapi, berkaca dari watak dan habitat Parpol-parpol yang ada sekarang, bukan mustahil mereka akan melakukan perlawanan. Caranya, mereka akan menyusun materi RUU Pemilu yang segera dibahas DPR dengan seabreg rintangan dan halangan. Tujuannya satu, menghadang munculnya tokoh-tokoh harapan rakyat ke gelanggang Capres-Cawapres 2019. Dengan demikian, mereka akan tetap bisa menikmati gelimang kekuasaan dan kekayaan berlimpah, walau diperoleh secara menjijikkan.
Kalau ini yang terjadi, sudah saatnya rakyat bangkit melawan. Mungkinkah peristiwa 1998 harus terulang…? (*)
Oleh Edward Marthens, Pekerja Sosial, tinggal di Jakarta