KedaiPena.Com – Dengan mendaftarnya secara resmi dua pasangan calon (paslon) gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta penantang pasangan petahana Ahok-Djarot di hari terakhir pendaftaran di KPUD DKI Jakarta (23/9), yakni Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, maka rakyat Jakarta berharap segera dapat melihat “contrasting” (perbedaan mencolok) kedua paslon itu dengan petahana Ahok.
Pengontrasan atau perbedaan mencolok yang akan segera disimak dan dicerna rakyat pemilih Jakarta, terlebih para pendamba perubahan sejati di DKI Jakarta, tentu bukan saja pada aspek-aspek artifisial ataupun permukaan semata. Seperti penampilan fisik, pembawaan, latar belakang, parpol pengusung, ataupun gaya komunikasi dari dua paslon penantang petahana itu.
Melainkan, lebih jauh dari itu, pada aspek-aspek substantif terkait agenda-agenda dan program-program kerakyatan sejati yang ditawarkan dengan penuh komitmen. Dari situ rakyat Jakarta akan melihat perbedaan mencolok dengan program-program dan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan petahana Ahok yang mana terua memperoleh kritik tajam secara meluas dari pelbagai elemen rakyat Jakarta.
Pandangan itu disampaikan analis sosial-kerakyatan KIAT 98 (Komunitas Intelektual Aktivis 98), Nanang Djamaludin, menanggapi pendaftaran dua paslon penantang Gubernur-Wakil Gubernur petahana Ahok-Djarot kepada media Sabtu (24/9).
“Agenda-agenda dan program-program dari paslon Agus-Sylvi maupun paslon Anies-Sandi, harus punya greget dalam hal pengidentifikasian diri sebagai antitesis atas petahana Ahok, baik itu di tataran gagasan kerakyatan sejati yang diusung, komitmen yang paripurna atas gagasan tersebut, dan tentunya pada tataran praktik politik yang harus terus melekat pada dirinya sepanjang waktu, yang mana membedakannya dengan watak kebijakan-kebijakan yang didemontrasikan petahana Ahok yang banyak dikritik pelbagai pihak,” jelas Nanang.
Menurut Nanang, jika kedua paslon penantang Ahok-Djarot itu ingin memperjuangkan agenda-agenda kerakyatan sejati secara sunguh-sungguh, khususnya yang sesuai cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 di level ibukota, serta ingin mengalahkan Ahok di putaran pertama, maka setidaknya harus ada perbedaan mencolok yang harus dibangun, diperkuat dan dipertajam oleh kedua paslon itu.
Yakni lewat program-program dan rencana-rencana kebijakan kerakyatan sejati yang berkualitas, yang bukan cuma di atas kertas semata. Namun harus dihayati secara sungguh-sungguh prinsip-prinsip yang melatari upaya perwujudannya.
Pertama, harus antikemiskinan, bukan malah menjadi gubernur tukang gusur orang miskin. Kedua, harus anti-kesenjangan sosial-ekonomi, bukan menjadi gubernur yang malah memperparah kesenjangan sosial-ekonomi lewat kebijakan-kebijakannya.
Ketiga, mencintai lingkungan hidup, bukan malah menjadi gubernur pelopor perusakan lingkungan hidup dengan merubah bentang alam lewat, misalnya, proyek reklamasi dan giant sea wall yang amat membahayakan lingkungan hidup dalam jangka pendek dan panjang, serta cuma menguntungkan para kaum modal dan orang berduit tebal semata.
“Keempat, melayani dan mengutamakan kepentingan rakyat kecil-menengah, dan bukan malah menjadi gubernur yang condong melayani kepentingan taipan dan konglomerat,” Nanang melanjutkan.
Kelima, mentradisikan pelibatan partisipasi rakyat secara luas dalam setiap rencana kebijakan dan mendengarkan aspirasi rakyat Jakarta, bukan malah menjadi gubernur yang membangun oligarki kekuasaan dengan segelintir klik kekuasaan politik dan bisnis.
Keenam, merawat dan menumbuhkan kebhinnekaan rakyat Jakarta, bukan malah hobi memprovokasi dan menyulut munculnya disharmoni berlatar SARA. Ketujuh, menjaga amanat kekuasaan yang diberikan rakyat, bukan malah menjadi gubernur yang mudah menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan rakyat.
“Dan kedelapan, membina hubungan harmonis yang bersifat motivatif dan transformatif dengan kalangan birokrasi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, bukan menjadi gubernur yang malah rajin membully dan menistakan aparatur birokrasi bawahannya,” lanjutnya.
Lantas, apakah kedua paslon penantang gubernur petahana tersebut akan dapat membuat perbedaan mencolok dengan petahana Ahok? Atau justru ternyata kedua paslon itu cuma sekedar arak lama dengan botol baru, atau beda-beda tipis saja dengan Ahok terkait watak dari program dan rencana-rencana kebijakannya untuk rakyat Jakarta?
“Waktulah yang akan menjawab. Dan rakyat Jakarta sendirilah yang punya kuasa dan memiliki tingkat kejelian tertentu untuk menentukan pilihannya atas perubahan sejati di DKI Jakarta sebagaimana diidamkannya,” pungkas Nanang yang masuk dalam tim penyusun Surat Kebangsaan Aktivis 98 untuk Megawati Soekarnoputri agar Megawati menolak Ahok akhir Agustus lalu itu.
(Prw)