KedaiPena.Com -BARU-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), bersama Ketua Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), menyatakan akan menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisaksi dan Semanggi I & II, dengan cara rekonsiliasi.
Keputusan ini menurut mereka merujuk pada arah politik Pemerintah Indonesia yang memang menghendaki model penyelesaian melalui jalur non-yudisial. Selain tergesa-gesa, keputusan ini memperlihatkan bahwa Pemerintah telah abai pada prinsip-prinsip yang adil dan komprehensif tentang pencegahan impunitas pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Padahal, Presiden Joko Widodo telah berulang kali berjanji di hadapan publik, bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat (termasuk kasus Trisaksi dan kasus Semanggi I & II) akan diselesaikan secara adil dan bermartabat. Pilihan rekonsiliasi yang baru saja diumumkan tersebut tentu membuka banyak pertanyaan dan kejanggalan.
Pertama, mengacu pada fakta-fakta yang ada, Menkopolhukam Wiranto, yang menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI, pada saat terjadinya peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, diduga kuat terlibat sebagai pelaku dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut Komnas HAM, Wiranto gagal dalam jabatannya sebagai Menhankam/Pangab, yang tidak mampu melakukan upaya penyelamatan hak-hak warga negara dan mengakibatkan jatuhnya korban di peristiwa yang terjadi di tahun 1998 dan 1999 tersebut.
Menjadi aneh ketika seseorang yang diduga sebagai pelaku, tiba-tiba secara sepihak mengumumkan pilihan mekanisme non-yudisial untuk penyelesaian, dan meninggalkan kewajiban akuntabilitas hukum.
Kedua, Komnas HAM sebagai institusi yang diberikan mandat untuk melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, menurut UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, juga terkesan melupakan keputusannya sendiri. Pilihan untuk mendukung keputusan yang telah diumumkan tersebut, memperlihatkan Komnas HAM justru mendelegitimasi keputusannya sendiri, yang pada periode sebelumnya telah dengan sangat yakin menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II.
Ketiga, semestinya Komnas HAM bersama pemerintah menekan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan segera melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa tersebut. Selama ini Kejaksaan Agung (sebagaimana disampaikan Jaksa Agung periode sebelumnya) selalu beralasan prosesnya terganjal asas nebis in idem, karena telah ada proses Pengadilan Militer dalam kasus tersebut. Alasan ini tentu tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pertanggungjawaban dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, dan semata-mata bentuk keengganan untuk segera melakukan proses hukum.
Alasan yang mengatakan bahwa DPR tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM melalui Panitia Khusus (Pansus)dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II, juga terbantahkan dengan keluarnya Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 dalam pengujian UU Pengadilan HAM. Putusan ini menyatakan bahwa DPR tidak lagi memiliki otoritas untuk menentukan apakah dalam suatu peristiwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat atau tidak? Menurut penafsiran MK, wewenang DPR semata-mata hanya meneruskan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung.
Dalam kaitannya dengan ini, Presiden seharusnya dapat bertindak tegas dengan mengambil langkah-langkah yang patut dan sesuai dengan kewenangannya untuk memastikan Jaksa Agung bekerja sesuai dengan tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang telah dimandatkan oleh undang-undang. Apalagi dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II sebagian besar terduga pelaku dan korban masih hidup, bahkan sebagian diantaranya masih menduduki jabatan-jabatan politik strategis. Sehingga tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk mengatakan kesulitan dalam penggalian bukti-bukti dan pengumpulan keterangan saksi.
Mencermati situasi tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menekankan, pertama, Presiden Joko Widodo untuk mengambil kepemimpinan politik dalam langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, guna segera merealisasikan janji-janji politik sebagaimana terumuskan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019;
Kedua, Presiden memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, serta mendorong langkah-langkah yang efektif sesegera mungkin, untuk memastikan setiap pihak bekerja sesuai dengan tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik apapun.
Ketiga, Perlunya evaluasi terhadap posisi Menkopolhukam dan Jaksa Agung, yang sejauh ini dalam kinerjanya seringkali tidak sejalan dengan agenda-agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Setidaknya dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum nampak capaian berarti untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Aktor-aktor kunci dalam pemerintahan, para pembantu presiden, yang memiliki mandat dalam upaya penyelesaian, justru tindakanya seringkali tak-sejalan dengan janji politik Presiden;
Keempat, Komnas HAM mengambil sikap tegas, sebagai lembaga negara independen yang diberikan mandat penyelidikan atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Bukan sebaliknya, justru mendelegitimasi keputusannya sendiri, dengan menghindari proses hukum yang semestinya menjadi tindak lanjut dari penyelidikannya, sebagaimana telah diumumkan bersama Menkopolhukan. Tentu hal ini sangat tidak sejalan dengan UU No. 39/1999 tentang HAM, yang mengatur wewenang Komnas HAM, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Oleh Wahyu Wagiman (Direktur Eksekutif ELSAM)