BEBERAPA waktu yang lalu saya terlibat obrolan dengan dua orang berbeda namun dengan topik serupa; suksesi Gubernur Sumatera Utara 2018. Kebetulan dua teman saya itu adalah praktisi politik dari Jakarta, walaupun kami ngobrolnya diwaktu dan kesempatan berbeda mereka berdua sama-sama bertanya dan mengeluhkan gersangnya lahan politik Sumut dari tokoh-tokoh pemimpin baru yang berintegeritas dan kapabel. Tentunya pertanyaan dan keluhan ini membuat kegelisahan tersendiri bagi saya sebagai warga Sumatera Utara.
Saat ini, lebih kurang setahun lebih menjelang Pilgubsu 2018, nama-nama yang muncul kepermukaan belum lagi mampu mengugah pesimisme masyarakat terhadap perubahan politik yang berarti bagi sumut. Ya, pesimisme sudah tumbuh di benak masyarakat Sumut sejak trend kepala daerah terpilih pasti tidak ada yang selesai menjalankan amanah satu periode kepemimpinannya. Biasanya dalam dua atau paling lama tiga tahun setelah dilantik kepala daerah tersebut akan tersangkut masalah korupsi dan kemudian digantikan oleh wakilnya.
Kita lihat saja mulai dari gubernur terpilih pada Pilkada 2008 silam, Syamsul Arifin. Pada tahun ketiganya Syamsul ditangkap KPK, diproses lalu ditahan sehingga tugasnya sebagai Gubernur dilaksanakan oleh wakilnya Gatot Pujonugroho (GPN). GPN menghabiskan sisa masa pemerintahan dan kemudian mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Sumut berpasangan dengan Tengku Erry Nuradi pada tahun 2013.
Seperti mengulangi sejarah, GPN kemudian masuk tahanan karena kasus penyalahgunaan anggaran bantuan sosial, wakilnya T. Erry mengambil alih kepemimpinan Sumut. Hingga saat ini sampai periode pemerintahan berakhir 2018 nanti T. Erry masih mantab memimpin sumut, dan sudah digadang-gadang untuk maju bertarung lagi sebagai Sumut 1 pada Pilgubsu nanti. Namun kabut pesimisme terhadap kepemimpinan T. Erry kedepan tetap menggelayut, karena rekam-jejak kepemimpinannya tidaklah mulus dan potensi mengulangi sejarah dua gubernur sebelumnya terulang kembali begitu besar.
Trend kepala daerah yang tesangkut korupsi dan terjegal dari kursinya bukan hanya monopoli Pemerintahan Provinsi, Walikota Medan dua periode sebelum sekarang juga mengalami hal serupa. Pasangan Abdillah-Ramli yang terpilih terakhir dengan mekanisme dipilih oleh anggota DPRD pada tahun 2005 bahkan tersangkut masalah korupsi secara bersamaan, sehingga kota medan harus dipimpin oleh Sekretaris Daerah dan Pelaksana Tugas sampai pilkada berikutnya. Pilkada tahun 2010 yang diharapkan memecahkan kebuntuan politik di Medan setelah vakum ditinggal Walikotanya, antusiasme masyarakat juga tampak meningkat dengan munculnya 10 pasangan calon dengan latar belakang beragam.
Namun Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin pemenang Pilkada Kota Medan yang sampai dua putaran itu mengalami antiklimaks. Rahudman yang terpilih dalam pilkada langsung pertama dikota Medan itu tidak dapat menghabiskan satu periode jabatannya karena  terjerat kasus korupsi yang dilakukannya pada jabatan sebelumnya. Kembali kota Medan ditinggalkan pemimpinnya karena kasus korupsi dan Dzulmi Eldin wakil Walikota menjabat sebagai pelaksana tugas yang kemudian maju lagi dalam pilkada selanjutnya tahun 2015 menjadi Walikota Medan.
Dengan rekam-jejak hasil Pilkada seperti itu – baik di Sumut, Medan dan kab/kota disekitarnya –  akhirnya menghasilkan apatisme politik ditengah-tengah masyarakat. Setiap kepala daerah yang maju dan menang dalam kontestasi telah diukur berapa lama akan bertahan sebelum diciduk oleh kejaksaan atau KPK yang kemudian akan digantikan oleh wakilnya dan apabila beruntung akan maju lagi sebagai nomor satu diperiode selanjutnya untuk kemudian tertangkap lagi dan digantikan lagi oleh wakilnya, begitu seterusnya.
Indikasi paling nyata dari apatisme itu adalah Pilkada kota Medan akhir tahun 2015 lalu, Plt Walikota Dzulmi Eldin maju lagi sebagai calon Walikota melawan Ramadhan Pohan (tokoh yang didatangkan dari Jakarta). Eldin maju dengan dukungan mayoritas Partai dan menang. Namun pemilih yang menggunakan hak suaranya ke TPS hanya berkisar 30%Â saja. Artinya apa? Bahwa ada 70% pemilik suara bersarkan DPT tidak peduli lagi siapa yang akan menjadi walikota Medan, dengan kata lain Pilkada tersebut tidak menarik bagi mayoritas warga Medan karena kualitas tokoh yang ditawarkan untuk menjadi pemimpin sudah kadaluwarsa.
Pemimpin dengan kualitas-kualitas baru
Kembali lagi kepada upaya pencarian sosok pemimpin untuk Sumut, kita masih kesulitan mencari kualitas-kualitas pemimpin generasi baru. Kalau saja kita jeli, bahwa sudah tampak di beberapa wilayah lain di Indonesia, bahkan pada Presiden kita sendiri. Pemimpin generasi baru itu adalah orang-orang biasa, bukan dari keluarga elit politik, bukan dari konglomerat, dan bukan juga petinggi Partai Politik. Mereka adalah orang-orang yang berdedikasi pada bidangnya dan membuktikan dirinya mampu memimpin dengan baik di daerahnya masing-masing.
Era orang-orang besar sudah berakhir, kini saatnya orang-orang biasa yang tampil memimpin. Bukan karena pencitraan atau rekayasa media namun karena zaman sudah berubah dan rakyat memang menginginkan kualitas seperti itu. Pemimpin bukanlah lagi orang yang berjarak dengan yang dipimpinnya, karakter pemimpin yang diidamkan adalah seorang pelayan bagi rakyatnya bukan lagi yang dilayani oleh bawahannya. Pemimpin adalah orang yang ikut bekerja bukan lagi orang yang berkarakter seperti komandan atau raja yang memberi perintah dari singgasana. Mampu memberikan terobosan kebijakan baru, bukan hanya melanjutkan agenda usang sampai jabatannya berakhir.
Jika ada sosok yang karakternya mendekati kualitas-kualitas diatas, maka layaklah dia menjadi pemimpin generasi baru kedepan. Namun dari obrolan dengan kedua teman tadi, kami memeriksa sekilas kualitas pemimpin dari 33 kab/kota di Sumatera Utara, kira-kira siapa yang berpotensi menjadi pemimpin Sumut kedepan dengan kualitas baru tadi? Jawabnya tidak ada. Bahkan dari 33 Kab/kota tersebut tidak ada prestasi yang menonjol dan gebrakan baru dalam pembangunan di daerah masing-masing yang mereka pimpin.
Tradisi politik dan lingkungan keorganisasian yang melestarikan budaya-budaya lama seperti premanisme dan pemalakan terorganisir membuat miskinnya regenerasi  sosok pemuda yang memiliki kualitas karakter pemimpin baru. Orang-orang muda yang tersedia kebanyakan hanya muda secara umur dan fisik, namun mereka hanya kelanjutan dari tradisi kepemimpinan model lama yang dilestarikan sejak Orde Baru berkuasa. Jangan harapkan kreativitas muncul dari jenis pemuda seperti ini, mereka hanya tahu menakut-nakuti, meminta sumbangan dan ‘menjual jasa’ pengamanan, cara-cara primitif untuk mendapatkan uang yang katanya untuk pengembangan organisasi.
Kebuntuan ini harus dipecahkan oleh kita warga Sumut sendiri, pemimpin sumut kedepan harus sosok yang lahir dan tumbuh berkembang di Sumatera Utara. Bukan karena alasan pemuda daerah yang harus memimpin daerahnya, tapi lebih karena mereka yang merasakan sendiri kegelisahan rakyatnya, mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyat Sumut maka kebijakan yang dibuatnya kelak akan lebih berdampak langsung. Alasan ini sekaligus juga untuk menampik kecenderungan beberapa partai yang selalu membawa tokoh dari Jakarta untuk ikut meramaikan bursa Pilgubsu hanya karena tokoh tersebut memiliki identitas kesukuan dari Sumut atau pernah bertugas di Sumut, namun belum tentu pernah mengunjungi 33 kabupaten/kota di Sumut yang masing-masing merepresentasikan kearifan budaya dan tradisi lokal yang berbeda-beda pula.
Tulisan ini dibuat untuk menggugah siapa saja yang perduli pada peningkatan pembangunan Sumatera Utara, provinsi ini mulai tertinggal dari provinsi lain karena masalah politik dan kepemimpinannya yang tidak kunjung beres. Di saat provinsi lain sibuk membangun infrastruktur dan dasar perekonomian daerahnya, kita masih disibukkan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipanggil ke kantor KPK. Secara bersama-sama masyarakat dan partai politik yang ada harus komitmen mendukung dan mengusung sosok yang bersih dan berintegritas serta memiliki visi membawa kemajuan bagi Sumut. Namun sebelum itu kita masih memiliki tugas menggali dan menemukan potensi-potensi bibit lokal yang bisa menjadi pemimpin masa depan dari Sumatera Utara.
Oleh, Fuad Ginting, Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumatera Utara