KedaiPena.Com – Partai Politik (Parpol) tengah tersandera. Sikap Khofifah Indar Parawansa yang belum menyatakan sikap alias masih check sound, membuat peta politik di Jawa Timur mengalami kebuntuan. Di sisi lain, incumbent Saifullah Yusuf (Gus Ipul) terus merangsek dengan mencuri start kampanye agar bisa diusung Parpol.
Pilgub Jatim 2018 seolah-olah hanya melibatkan pertarungan dua sosok saja (Khofifah dan Gus Ipul). Sementara Parpol hanya menangkap dua nama ini untuk dimasukkan dalam agenda politik. Kendati sejumlah Parpol telah membuka pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur (Bacagub/Bacawagub) Jatim, namun hal itu hanya kamuflase.
Pada kenyataannya, parpol hanya mengulur waktu untuk mengusung calon yang sebenarnya sudah ditetapkan. Seperti halnya Khofifah yang kini terus menjadi rebutan parpol. Dua periode bertarung di Pilgub Jatim, elektabilitas Khofifah masih tinggi. Bahkan dibanding Gus Ipul, Khofifah dianggap sebagai calon yang layak meneruskan tongkat estafet Pakde Karwo.
Namun bungkamnya Khofifah justru menjadi kebuntuan di Pilgub Jatim kali ini. Padahal kalau diperhatikan banyak calon potensial yang siap maju Bacagub Jatim. Tak ayal, tersanderanya politik di Jawa Timur membuat demokrasi berjalan sangat lambat.
Mochtar W Oetomo, Direktur Surabaya Survey Center (SSC) menilai, kondisi politik di Jawa Timur saat ini sedang mengalami kebuntuan. “Demokrasi berjalan sangat lamban karena Parpol tengah tersandera,†ujar Mochtar saat ditemui, belum lama ini.
Pria yang menjadi pengajar di Universitas Trunojoyo Madura ini mencontohkan, Khofifah dan Gus Ipul menjadi ‘kiblat’ partai politik. Dua partai yang sedang bersekutu Gerindra dan Demokrat sejatinya ingin mengusung Khofifah, bila nantinya PDIP memutuskan mengusung Gus Ipul. Tapi dengan bungkamnya Khofifah dan strategi PDIP last minute, membuat Pilgub Jatim menjadi monoton.
Di sini publik dipertontonkan tayangan ulang saat Pilgub DKI beberapa waktu lalu. Bedanya, Khofifah dan Gus Ipul berasal dari latar belakang yang sama, yakni NU. Hanya saja jika nanti keduanya diadu oleh elit politik, bukan tidak mungkin akan membuat interval di kalangan warga Nahdliyin.
“Sangat disayangkan suara warga NU terbelah. Seperti orang Madura, mereka pasti bingung memilih siapa diantara Khofifah dan Gus Ipul,†kata Mochtar.
Nah, agar Pilgub Jatim berjalan tidak monoton, harus ada yang berani deklarasi calon independen. Dalam perhelatan Pilgub Jatim 2013 lalu, ada satu calon perseorangan yakni Eggi Sudjana. Kehadirannya bisa memecah kebuntuan politik yang saat itu tengah dialami larpol. Walhasil, empat pasang calon pun muncul dan berhadap-hadapan.
Dalam kondisi sekarang, calon perseorangan Jawa Timur sudah waktunya muncul. Untuk Eggi, dia tentu tidak bisa mengulang sejarah, bila melihat situasi politik yang dihadapinya.
Kehadiran calon independen ini, lanjut Mochtar, akan memudahkan Parpol melakukan proses penjaringan dengan baik. Sebab, selama ini proses penjaringan Porpol hanya berkutat di masalah popularitas dan elektabilitas, bukan program yang diusung calon.
Terlepas dari calon independen nantinya diusung parpol seperti yang terjadi pada Ahok, itu urusan belakangan. Yang jelas calon independen dapat memecah kebuntuan Pilgub Jatim yang selalu melibatkan dua nama yakni Khofifah dan Gus Ipul.
“Dalam Pilgub Jatim 2018 harus ada lima pasang calon. Itu baru demokrasi. Untuk melihat siapa saja calon-calon yang layak maju jalur perseorangan sebenarnya mudah,†terang Mochtar.
Sebut saja La Nyalla Mattalitti. Dia dinilai memiliki jaringan kuat dan mobilisasi tinggi. Dia sebagai ketua Kadin Jatim, pernah menjabat ketua PSSI, dan masih aktif sebagai Ketua umum MPW Pemuda Pancasila, tentu modal ini sudah cukup kuat bagi La Nyalla untuk maju sebagai calon perseorangan.
Terlepas dari masa lalunya yang sulit dilupakan publik, deklarasi La Nyalla sebagai calon independen tentu bisa memecah kebuntuan.
“Dia (La Nyalla) tidak perlu mengemis-ngemis ke Parpol. Sebab dia sudah punya jaringan kuat. Tinggal bagaimana memolesnya. Desiminasi informasi harus dikelola dengan baik. Hal-hal politif harus diciptakan. Karena dia harus merangkul media. Di situ aksektabilitas dia bisa naik,†tambah Mochtar.
Selain itu ada Hasan Aminuddin. Jika maju lewat jalur perseorangan sangat terbuka. Sebab, Partai Nasdem tempatnya bernaung hanya memiliki 4 kursi di DPRD Jatim.
Kekuatan Hasan Aminuddin untuk maju sebagai calon perseorangan terbuka. Asal, pasangannya berasal dari wilayah Mataraman dan dari kelompok nasionalis baik dari tokoh politik atau tokoh kultural, mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Parpol saat ini mulai menurun.
Melihat jauh ke belakang, nama Fitradjaja Purnama juga layak diperhitungkan. Mantan calon independen Walikota Surabaya periode 2010-2015 ini identik dengan perlawanan. Ketika orde baru berkuasa, Fitra secara masif melawan penguasa otoriter.
Kendati namanya tenggelam pasca Pilwali 2010-2015, namun hingga kini Fitra dikenal memiliki basis massa cukup kuat di akar rumput. Sebagai aktivis Pro Demokrasi, Fitra kini banyak menjalin komunikasi dengan elit politik, baik PDIP, Golkar, Demokrat hingga Nasdem. Kans maju lewat jalur perseorangan sangat terbuka lebar, mengingat dia pernah melakukan hal itu sebelumnya.
Hanya saja, kata Mochtar, jika Fitra maju kembali lewat jalur perseorangan, dia harus menciptakan momentum. “Jaringan boleh saja siap, tapi banyak publik yang sudah lupa. Dia harus menciptakan momentum yang bermakna. Harus pandai-pandai melihat sekeliling dan membaca situasi yang sedang berkembang. Calon independen harus memiliki terobosan baru, sebab itu kekuatan mereka,†jelasnya.
Lalu, ada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang memiliki kans besar maju lewat jalur perseorangan. Anas selama ini dikenal tokoh muda Nahdatul Ulama di Banyuwangi dan memiliki basis kekuatan dari para ulama dan simpatisan Nahdatul Ulama di Banyuwangi.
Kemudian ada Tri Rismaharini, itu kalau dia mau maju lewat jalur perseorangan. Dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi, sekiranya Risma tidak perlu risau maju di Pilgub Jatim. “Dia tidak perlu menunggu rekom PDIP. Risma dan tim pemenangannya bisa saja memaksimalkan basis massa yang riil. Sebab peluangnya sangat besar,†urai Mochtar.
Namun demikian calon independen tidak cocok untuk anggota, petugas, atau pengurus Parpol. Pasalnya, mereka sudah terikat dengan sumpah Parpol pengusung sehingga kehadirannya sulit diwujudkan. Mereka bisa saja maju jalur perseorangan kalau berani atau nekat, asal mau dicap sebagai pengkhianat. Sementara loyalitas dalam kerpartaian menjadi yang utama bagi orang-orang seperti Risma dan Anas, kendati keduanya mempunyai kans besar untuk memenangi Pilgub Jatim 2018.
Hasil Pilkada serentak 2015 memerlihatkan kepala daerah terpilih dari jalur perseorangan jumlahnya masih sangat kecil. Dari total pelaksanaan di 268 daerah, hanya lima pasangan yang terpilih dari jalur perseorangan menduduki jabatan wali kota/wakil wali kota. Sementara untuk kabupaten hanya berkisar delapan pasangan.
Meski jumlahnya terbilang kecil, namun bukan tidak mungkin pasangan yang maju dari jalur independen akan terus meningkat. Bahkan menjadi tren. Sebab, ke depan kalau partai politik tidak membenahi proses penjaringan, kandidat yang maju dari jalur perseorangan akan terus meningkat.
Laporan: Aji