KedaiPena.Com- Pemerintah diminta segera menyusun aturan turunan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Hal tersebut disampaikan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Luluk Nur Hamidah merespons pencabulan yang melibatkan anak ulama di Jombang, Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42).
“Pengesahan UU TPKS patut dirayakan sebagai momentum penting (milestone) dari agenda pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia khususnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun demikian, kami menilai bahwa Pemerintah belum kelihatan keseriusannya pasca diundangkannya UU TPKS,” kata Luluk sapaanya, Sabtu,(9/7/2022).
Luluk mengatakan, kejahatan seksual masih banyak terjadi usai UU TPKS resmi diundangkan. Ia menilai, kurangnya sosialisasi dan belum adanya pedomanan teknis dari UU TPKS menjadi salah satu alasannya.
UU TPKS sendiri mengamanatkan pembentukan 10 Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai pedoman teknis pelaksanaan.
“Meskipun UU memberikan waktu hingga 2 tahun dari sejak ditetapkannya sebagai UU, namun mengingat urgensi dan kedaruratan situasi dan kondisi kekerasan seksual di Tanah Air maka mestinya pemerintah menyegerakan dan memprioritaskan PP dan Perpres turunan UU TPKS,” tegasnya.
Pada kasus di Jombang, Mas Bechi belum berhasil ditangkap Polisi sehingga berstatus sebagai DPO. Ia menjadi tersangka pencabulan terhadap 3 santriwati Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur.
Mas Bechi merupakan anak petinggi Pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah, KH Muhammad Mukhtar Mukthi. Kiai Mukhtar sendiri berkali-kali meminta polisi tak menangkap Mas Bechi dan berjanji akan menyerahkan sendiri anaknya ke polisi.
Polisi sudah berusaha melakukan penjemputan paksa namun mendapat perlawanan dari simpatisan Ponpes Shiddiqiyyah. Bahkan Kasat Reskrim Polres Jombang AKP Giadi Nugraha terkena siraman kopi panas dari salah seorang simpatisan hingga terluka.
“Untuk Kasus di Jombang, pihak yang menghalangi jika diterpakan UU TPKS maka bisa dijerat pidana. Bapaknya sudah jelas terbuka minta agar anaknya tidak ditangkap. Lalu simpatisan yang secara sengaja menghalangi aparat melakukan penangkapan, apalagi dengan perlawanan,” tegas Luluk.
Aturan yang dimaksud Luluk tertuang dalam Pasal 19 UU TPKS, yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi dalam perkara TPKS dapat diancam Pidana penjara paling lama 5 tahun.
Oleh karenanya, Luluk meminta pihak kepolisan turut menerapkan UU TPKS dalam kasus Mas Bechi. Baik untuk kasus pencabulannya, maupun terkait pihak-pihak yang menghalangi penyidikan.
“Pembelaan harus dilakukan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang dibenarkan secara hukum, misalnya melalui lawyer atau pengacara,” ucap Legislator dari Dapil Jateng IV tersebut.
“Jadi perlu kelegawaan dari semua pihak agar proses hukum bisa berjalan dengan baik. Jika tidak, maka ketentuan hukum yang mengatur tentang TPKS justru akan menjadi risiko bagi pihak-pihak yang sengaja mengahalang-halangi,” tambah Luluk.
Luluk pun menyebut kasus kekerasan seksual yang belakangan terjadi seharusnya bisa dihindari bila ada sosialisasi yang intens dan upaya pencegahan melalui sistem sebagaimana semangat dalam UU TPKS. Ia pun menyayangkan lambatnya gerak Pemerintah menyusun PP dan Perpres.
“Terutama karena korbannya banyak anak-anak. Baik yang terjadi di lingkungan keluarga, ataupun korban di bawahpelindungan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan berasrama-pesantren,” sebut Luluk.
Anggota Komisi IV DPR itu juga menyoroti bagaimana aparat penegak hukum di lapangan yang masih kesulitan menjadikan UU TPKS sebagai rujukan dalam penanganan kasus kekeraaan seksual. Hal tersebut, kata Luluk, lantaran tidak adanya sosialisasi, SOP, pelatihan dan bimbingan teknis terkait hukum acara yang digunakan dalam UU TPKS.
“Korban Kekerasan seksual pasca disahkannya UU TPKS tidak serta ditangani menggunakan hukum acara sesuai UU TPKS, karena tidak adanya pedoman teknis . Ini seharusnya menjadi atensi serius bagi pemerintah, jangan terkesan masih memiliki waktu 2 tahun lalu tidak ada alasan untuk menyegerakan PP dan Perpres,” tukasnya.
Luluk memberi contoh kasus kekerasan seksual di Ponpes Riyadhul Jannah, Depok, di mana belasan santriwati menjadi korban pencabulan sejumlah ustaz pengasuh ponpes tersebut. Ia menilai, sosialisasi pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, masih belum optimal.
Tak hanya itu, Luluk juga menyinggung sejumlah kasus kekerasan seksual di Sragen, Jawa Tengah. Salah satunya, kasus pemerkosaan terhadap anak usia 9 tahun yang dilakukan oleh tetangganya pada tahun 2020.
“Pelaku sampai sekarang belum ditetapkan, korban masih terkatung-katung selama 2 tahun. Penyidikan masih pakai prosedur lama. Bukti dan saksi dianggap tidak cukup, sementara kesaksian korban dianggap tidak cukup mentersangkakan pelaku,” papar Luluk.
“Meski sekarang ada UU TPKS, polisi masih tidak mau menggunakan keterangan korban dan visum sebagai alat bukti yang cukup,” lanjutnya.
Luluk menilai, Indonesia akan terus mengalami darurat kekerasan seksual apabila tidak ada keseriusan pihak-pihak terkait. Selain sosialisasi yang masif, Pemerintah juga diminta untuk mempercepat pelatihan bagi APH (aparat penegak hukum).
“Minimal SOP yang dapat digunakan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pasca UU TPKS disahkan. Ini yang terjadi justru adanya kebingungan di lapangan. Akhirnya cara-cara dan prosedur lama yang tetap dilakukan, begitupun rujukannya, masih menggunakan UU lama,” urai Luluk.
“Ini patut disayangkan. Karana berpotensi merugikan korban. Belum lagi kebuntuan prosedur penanganan TPKS karena koordinasi yang belum terpadu antar-institusi. Pada akhirnya korban akan tetap menderita karena tidak segera mendapat pendampingan dan pemulihan,” imbuhnya.
Luluk kembali menegaskan agar Pemerintah melakukan langkah cepat membuat aturan teknis terkait UU TPKS dengan mengintensifkan koodinasi antar Kementerian/Lembaga terkait. Sebab berdasarkan informasi, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Kementerian Agama (Kemenag) belum diajak berkoordinasi mengenai UU TPKS.
“Padahal kekerasan seksual di tempat kerja kan banyak. Itu juga perlu prosedur pencegahan di tempat kerja. Kasus banyak juga di lembaga keagamaan dan bukan cuma pesantren. Seperti kasus dugaan kekerasan seksual terhadap siswa SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Kota Batu yang sampai sekarang masih bergulir,” pungkas Luluk.
Laporan: Muhammad Lutfi