TERMINAL Kampung Melayu menjadi sasaran bom bunuh diri. Sejumlah aparat kepolisian dan warga menjadi korban. Keterangan resmi Polri menyebut Jamaah Anshorud Daulah (JAD) sebagai kelompok pelaku. Pernyataan itu sekaligus mengonfirmasi bahwa langsung tidak langsung, jaringan Islamic State (IS) ada di balik serangan itu.
Secara global, rangkaian peristiwa dalam dua hari terakhir, mulai dari Manchester-Inggris, Marawi-Filipina dan Kampung Melayu, menunjukkan bahwa insurgensi tetap menjadi pilihan strategi IS di luar basis utamanya. Jepitan di medan tempur ‘beneran’ di Timur Tengah, mereka jawab dengan serangan ‘low act, high impact’ di kandang-kandang lawan di belahan bumi lainnya.
Tentu saja model serangan ini mudah direplikasi secara global. Baik kelompok terafiliasi maupun pemuja IS dapat dengan mudah menirunya. Meski dalam intensitas yang berbeda-beda, bergantung pada kemampuan teknis, akses logistik dan tingkat kewaspadaan di area sasaran. Termasuk di Asia Tenggara dimana Indonesia, adalah kawasan yang boleh dibilang paling rentan.
Mengapa Indonesia kembali menjadi target teror? Apakah ada kaitannya dengan arah kebijakan pemerintah ? Arah kebijakan maupun situasi belakangan ini secara langsung mungkin tidak. Tapi tampak adanya kondisi yang membuat potensi ancaman teror makin kuat.
Peristiwa ini terjadi empat hari setelah Presiden bicara tentang perang melawan terorisme di Riyadh, Arab Saudi. Pidato Presiden Jokowi dipuji sebagian orang. Sebab tak masuk ke konflik kepentingan Arab-AS versus Iran. Di mana negara-negara itu saling tuding tentang pelaku teror. Raja Salman dan Presiden Trump menuduh Iran menjadi sponsor dari rentetan aksi teror.
Sementara itu, Jokowi fokus ke persoalan terorisme, tanpa menyebut satu negara pun sebagai biang persoalan. Sebab akar terorisme, kata Presiden, adalah berkembangnya paham radikal. Maka syarat untuk menumpas terorisme adalah bersatunya terutama negara-negara Islam yang memang paling banyak menjadi korban untuk melawan terorisme.
Pidato itu justru lucu bagi saya. Bagaimana kita mau memisahkan terorisme ini dari agama jika presiden saja meyakini bahwa radikalisme agamalah akarnya. Pertanyaannya, apakah kekerasan memang inheren dgn ajaran agama? Menurut saya tidak. Ini bukan radikalisme agama. Ini ‘violent extremism’. Bahwa saat ini di Indonesia, radikalisme sedang bertemu kepentingan dengan ekstremisme, bukan berarti kekerasan yg terjadi adalah wujud radikalisme. Bukan, itu wujud dari mandegnya radikalisme kemudian bergeser menjadi ekstremisme.
Bagi ISIS, teror adalah pesan itu sendiri. Kondisi ‘terjepit’ di timur tengah membuat makin yakin dgn strategi menghancurkan lawan di kantongnya sendiri. Kita lihat mereka bergerak makin cepat dari hari ke hari. Artinya? Kondolidasi berjalan baik. Artinya lagi? Proposal sudah berjalan, organisasi sudah bergerak. Saya hampir yakin, kini jaringan ISIS di Asia Tenggara sudah mulai solid dan mampu berkomunikasi dengan cukup baik.
Soal simpatisan, para pelaku lapangan ini boleh dikata kebanyakan berawal dari pemahaman agama yang biasa cenderung dangkal, kemudian seolah mendadak bergairah. Ini yang kita khawatirkan terjadi sebagai ekses menyusul peningkatan gairah beragama di kalangan umat pasca 411.
Kegairahan yang dangkal, yang menjadikan agama hanya sebagai ideologi, bukan ilmu yang harus dipelajari secara mendalam. Kedangkalan, ketidakberfikiran, yang berkelindan dengan persepsi diperlakukan tak adil, dijahati ini  kemudian mewujud dalam munculnya firqah-firqah baru yang tak jelas, dan berpotensi salah jalan.
Bagi saya yang lebih masuk akal dilakukan saat ini adalah memperkuat upaya mitigasi. Kerentanan Indonesia terhadap teror ini sama halnya kerawanan terhadap bencana alam dan narkoba. Masyarakat secara praktis perlu bekal lebih memadai bagaimana bertahan di tengah segala macam kerawanan itu. Dan tentu jawabannya bukanlah deradikalisasi atau ideologisasi.
Karena jika hanya itu yang dilakukan, masyarakat bukan makin cerdas tapi makin dangkal. Ekstremisme kekerasan lahir dari ketidakberfikiran, kedangkalan. Jika kemudian itu diobati dengan ‘pendangkalan’ (radikal = mendalam) apa yang terjadi? Ya panen kekerasan.
Oleh Khairul Fahmi, Institute For Security and Strategic Studies (Isess)