KedaiPena.Com – Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS Rafli menyoroti rencana Perusahaan Gas Negara (PGN) yang ingin menghilangkan pajak pertambahan nilai (PPN) pada beban pembelian gas di hulu demi mendapatkan harga jual gas yang murah untuk industri.
Menurut politikus asal Aceh ini usulan PGN tersebut sangat tidak tepat lantaran akan mengurangi pendapatan dan pemasukan untuk negara.
“Otomatis seperti mengurangi pendapatan negara,” ujar Rafli kepada KedaiPena.Com, Rabu, (5/2/2020).
Rafli lantas mengingatkan soal peran BUMN sebagai lembaga yang ditugaskan oleh negara untuk mendulang keuangan bagi bangsa.
BUMN sendiri juga mempunyai peran untuk memberikan pelayanan publik atau public service obligation (PSO)
“BUMN ini merupakan lembaga yang dipercaya oleh negara untuk mendulang keuntungan,” tegas Rafli.
Untuk diketahui, PGN meminta untuk penghapusan beban pajak pertambahan nilai (PPN) pada beban pembelian gas di hulu. Hal ini dilakukan agar PGN bisa mendapatkan harga jual gas yang murah untuk industri.
Direktur Utama PGN, Gigih Prakoso, menjelaskan selama ini PGN saat membeli gas dari para kontraktor migas di hulu dipungut PPN.
Padahal, sesuai aturan yang berlaku PGN menjual gas, apalagi LNG ke industri tidak memungut PPN pada harga jual ke industri.
Permintaan PGN ini sendiri didasari oleh sikap Presiden Jokowi yang menyoroti mahal harga gas Industri. Jokowi meminta agar harga gas industri bisa menjadi US$ 6 per mmbtu dalam waktu 6 bulan.
Kalangan industri sendiri menginginkan harga gas di kisaran USD3 seperti negara tetangga. Harga gas yang rendah akan menekan biaya produksi menjadi murah sehingga barang-barang bisa bersaing dengan produk impor.
Sejauh ini masih ada beberapa industri yang belum mengikuti penyesuaian, yaitu harga gas industri keramik USD7,7 dollar per MMBTU, kaca (7,5 dollar AS per MMBTU), sarung tangan karet (9,9 dollar AS per MMBTU), dan oleokimia (8-10 dollar AS per MMBTU).
Sedangkan industri pupuk, petrokimia dan baja yang sudah menyesuaikan harga sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016 sebesar USD6 dollar per MMBTU.
Laporan: Muhammad Hafidh