Oleh: Mantan Ketua Komisi VI DPR RI Inas N Zubir
SEBAGAI perusahaan gas Negara, PGN mendapat tugas melaksanakan kewajiban Negara berdasarkan perintah UUD 45, yakni Pasal 34 Ayat 3 Undang-undang dasar 45, amandemen ke IV yang mengatur bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayananan umum yang layak”.
Tanggung jawab Negara tersebut, kemudian dituangkan dalam UU No. 19/2003 Tentang BUMN untuk kemudian dilaksakan oleh BUMN dalam bentuk PSO. Hal ini berarti, apapun alasannya dan bagaimanapun caranya, PSO harus dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
Berdasarkan UU No. 19/2003 juga menyatakan bahwa BUMN yang mendapat tugas PSO, berhak memperoleh kompensasi dari Negara untuk menutupi biaya PSO tersebut agar BUMN tetap sehat.
Pertanyaan-nya adalah, apakah PSO yang diselenggarakan oleh PGN sudah mendapat-kan kompensasi dari Negara? Yakni kompensasi dari penyelenggaraan jargas dan kompensasi dari pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM No 8/2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, dimana harga gas untuk industri tertentu tersebut dipatok USD. 6,-.
Hambatan kompensasi sangat dirasakan oleh BUMN yang menerima tugas mengemban PSO pada awal tahun anggaran, namun baru menerima dana PSO pada akhir tahun, mengingat pemerintah melalui Departemen Keuangan harus melakukan verifikasi sebelum dana PSO diberikan, bahkan ada juga BUMN yang samasekali belum menerima kompensasi PSO tersebut dimana salah satunya adalah PGN, sehingga mengganggu arus kas BUMN.
Dilain sisi, PGN sebagai perseroan terbatas berhadapan juga dengan pajak, karena PGN menjual barang dagangan yakni gas alam. Tapi yang perlu dipertanyakan adalah, apakah gas yang diperdagangkan oleh PGN yang sebagian besar skema-nya adalah PSO tersebut harus juga dibebani pajak oleh Negara?
Apalagi UU No. 42/2009 ttg PPN sudah sangat jelas menyatakan bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang meliputi minyak bumi dan gas bumi, tidak dikenakan PPN.
Maka seharusnya tidak akan terjadi sengketa pajak antara Direktorat Jendaral Pajak(DJP) dengan PGN, apabila tidak ada ambiguitas UU No. 42/2009 tentang PPN, dimana Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding PGN dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB tahun 2012-2013 sejumlah Rp. 4,152 triliun, tapi kemudian dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan DJP, Mahkamah Agung justru mengabulkan 30 SKPKB yang dimohonkan tersebut, sehingga PGN harus membayar denda Rp 3,06 triliun.
Pasalnya adalah baik PGN dan Pengadilan Pajak, serta Ditjen Pajak dan MA, sama-sama merujuk pada Pasal 4A ayat (2a) UU PPN beserta penjelasannya, tapi berbeda dalam menafsirkan frasa “barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya”.
Perbedaan antara penafsiran 2 institusi Negara tersebut, seharusnya tidak terjadi jika peraturan dan perundang-undangan nya jelas dan tegas, apalagi kita mengetahui bahwa UU No. 19/2003 adalah lex specialis karena mengatur tentang perseroan terbatas atau badan usaha milik Negara.
Oleh karena itu sudah seharusnya berbagai aturan tentang BUMN seperti tenaga kerja, serikat pekerja bahkan termasuk juga PPN diatur tersendiri dalam UU badan usaha milik Negara tersebut, sehingga tidak lagi ada perbedaan penafsiran.
(***)