DALAM catatan sejarah manusia Nusantara lama, terdapat sebuah catatan di mana proses yang hari ini identik dengan kegiatan traveling, backpacker, dan mendaki gunung begitu kental di dalamnya. Kisah tersebut tercatat dalam kisah Bujangga Manik pada sekitar abad ke 15 (kurang lebih 600 tahun yang lalu).
Bujangga Manik merupakan pendeta hindu yang melakukan perjalanan mengelilingi pulau Jawa hingga menembus pulau Bali. Perjalanannya itu sendiri dilakukan dalam rangka perjalanan suci (religius) yang bersifat personal.
Apa yang dilakukan Bujangga Manik dengan trend mendaki gunung, traveller, dan backpacker hari ini memiliki perbedaan yang signifikan. Tetapi bukan berarti tidak memiliki persamaan. Jika kita sederhanakan penziarahan Bujangga Manik dengan trend mendaki gunung, traveller, dan backpacker hari ini, secara sepintas memiliki banyak kesamaan, terutama dalam sisi mengunjungi tempat-tempat yang khusus atau special.
Bujangga Manik dalam perjalanannya mengelilingi pulau Jawa hingga Bali cenderung menuju pada tempat-tempat yang bersejarah di masa-nya, tempat keramat, dan tempat suci. Selain dari pada itu, dalam beberapa kesempatan, disebutkan bahwa Bujangga Manik singgah di tempat-tempat yang dekat dengan pusat kerajaan, Majapahit dan Demak menjadi salah satunya.
Dari tujuan utama perjalanannya untuk mensucikan diri, gunung memiliki tempat yang paling spesial dalam catatan perjalanan spiritual Bujangga Manik, bahkan gunung disebutkan menjadi tempat terakhir ziarahnya. Dalam perjalanannya, lebih dari 70 gunung disebutkan sebagai bagian dari proses katarsis, dari sekian banyak gunung yang disebutkan, beberapa gunung di antaranya merupakan menu utama untuk didaki dalam perjalanan spiritualitasnya.
Dalam pendakian gunung sebagai bagian dari proses mensucikan diri, beberapa gunung seperti Gunung Gede (Pangrango), Cikuray, Puntang (Merpati), Papandayan, Pawitra, Kawi, Lereng Semeru, dan Patuha merupakan deretan gunung-gunung yang secara khusus didaki hingga mencapai puncak. Mensucikan diri dalam proses spiritualitas Bujangga Manik tidak lepas dari proses menziarahi gunung-gunung.
Pada titik ini, Bujangga Manik merupakan salah satu pendaki gunung –meskipun tidak dalam konteks kultur mendaki gunung saat ini, yang tercatat sejak lama dalam budaya masyarakat di Nusantara. Bujangga Manik, dengan deretan gunung-gunung yang didaki merupakan Alpinist dalam konteks definisi “orang yang suka dan ahli mendaki gunungâ€.
Terlebih, sulit bagi kita hari ini untuk membayangkan bagaimana proses pendakian dan peralatan yang digunakan pada waktu itu. Orang-orang yang mendaki gunung pada masa itu memang sakti.
Oleh Pepep DW, Akademisi STSI Bandung, Pegiat Jelajah Gunung Bandung