PERIODE pertama pemerintahan Jokowi ditutup dengan pengumuman BPS (15/7) yang menyebutkan defisit neraca perdagangan semester I 2019 sebesar minus USD 1,9 miliar.
Media-media menyebut bahwa besaran minus USD 1,9 miliar ini adalah defisit neraca perdagangan yang terburuk semasa pemerintahan Jokowi.
Bahasa sederhananya: petaka. Inilah kiranya salah satu hasil “kerja, kerja, kerja” dari seluruh tim ekonomi Kabinet Jokowi periode yang pertama.
Tentu ada petaka lain seperti kolapsnya Krakatau Steel, deindustrialisasi yang mengalami percepatan, kalangan usaha swasta yang terseok-seok, penerimaan pajak yang turun terus, struktur kredit yang timpang, dan masih banyak lagi.
Tapi fokus kita kali ini adalah tentang bunga surat utang pemerintah Indonesia yang ketinggian.
Seharusnya saat neraca perdagangan defisit besar, kurs akan melemah. Tapi yang terjadi saat ini nilai tukar Rupiah masih cukup stabil, bahkan kabarnya tembus ke bawah hingga Rp 13.900-an.
Sumber penguatan Rupiah adalah karena pemerintahan Jokowi, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani teramat
gencar menarik utang baru di pasar dengan bunga sangat tinggi.
Sederhananya, semakin banyak
investor masuk membeli surat utang Indonesia, terutama yang berdenominasi Rupiah, maka harga
Rupiah akan menguat akibat tingginya permintaan atas mata uang Republik.
Bangsa yang Tidak Pernah Belajar dari Kesalahan
Taktik menarik utang jor-joran dari pasar uang akan selamatkan kita untuk sementara, kurs Rupiah tetap yang tercantik. Tetapi dalam jangka yang lebih panjang, pemerintah Jokowi periode kedua pasti kelimpungan dalam mengatur anggaran karena beban bunga utang yang semakin membengkak.
Akibatnya, karena pendapatan pajak tidak meningkat, maka Pemerintah Jokowi terpaksa, dan pasti disarankan oleh para investor pemberi utang, melalui juru bicaranya yang merangkap Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani, untuk mencabut subsidi energi, sehingga tarif PLN dan BBM pun akan naik.
Seandainya benar langkah ‘austerity policy’ tersebut yang dipilih, maka siap-siap saja Pemerintahan Jokowi periode kedua menghadapi derasnya gerakan perlawanan rakyat (yang mungkin akan nyaris mirip dengan 1998) selama sisa masa jabatan.
Pembayaran pokok utang dan bunga kepada investor pasar uang tidak boleh dikorbankan, kecuali ingin Indonesia ditinggalkan oleh para investor pasar uang, begitulah ancaman juru bicara investor nanti.
Hak rakyat untuk energi dan pangan murah boleh dikorbankan, silakan saja mereka lakukan perlawanan di jalan-jalan, tetapi hak para investor untuk mendapatkan bunga tinggi harus tetap didahulukan. Karena, sekali saja Indonesia ‘default’ (gagal bayar), maka dapat dipastikan investor akan ramai-ramai melepas surat utang Indonesia.
Bila ‘hot money’ ramai-ramai keluar, keroposnya makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan defisit transaksi berjalan yang terdalam (USD 7 miiar di kuartal I 2019) di kawasan ASEAN, akan membuat nilai kurs Rupiah merosot sangat dalam. Mungkin akan tembus hingga di batas Rp 16.000 seperti 1997-1998, mengingat defisit transaksi berjalan Indonesia 21 tahun lalu saat jelang krisis sekitar USD 4,9 miliar, lebih kecil dari sekarang.
Yang pasti bila Indonesia saat ini mengalami krisis nilai tukar, dapat dipastikan kali ini Indonesia hanya sendirian saja di ASEAN. Karena seluruh negara tetangga kita di kawasan memiliki fondasi yang kuat karena semuanya saat ini mengalami surplus transaksi berjalan (kecuali Filipina yang sedikit defisit).
Jadi tampaknya Malaysia dan Thailand sudah banyak belajar dari krisis 21 tahun lalu, sedangkan Bangsa kita, seperti biasa, selalu tidak pernah mau belajar.
Sri Mulyani dan Chatib Basri Subsidi Investor Surat Utang
Kita kembali lagi kepada fakta tingginya bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah kepada investor
surat utang. Kita semua tahu, bahwa alokasi APBN untuk membayar bunga utang di tahun 2019 sekitar Rp 249 triliun, yang terus meningkat setiap tahun.
Bila ditambah dengan alokasi APBN untuk
pembayaran pokok utang tahun 2019 yang sebesar Rp 400 triliun, maka total beban utang (yang biasa disebut ‘debt service’) mencapai Rp 649 trilliun. Sekitar 1,5 kali lipat dari, baik anggaran infrastruktur maupun anggaran pendidikan yang di kisaran Rp 400-an triliun.
Total beban utang, ‘debt service’,
tersebut mencapai seperempat APBN kita. Sayang fakta ini sering terabaikan publik (mungkin karena Kemenkeu sengaja memisahkan alokasi bunga dan pokok).
Bila dalam tulisan-tulisan sebelum ini, saya coba membuktikan ketinggiannya bunga/ atau kupon pemerintah Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang rating kreditnya sama atau lebih rendah, kali ini saya coba menunjukkan tingginya bunga atau kupon Indonesia berdasarkan kinerja para menteri keuangan selama 10 tahun terakhir dalam kebijakan penentuan kupon/bunga dengan kurva ‘yield’ sebagai patokan.
Untuk diketahui, tingginya pembayaran bunga utang APBN bukanlah takdir dari Tuhan Yang Maha Esa, melainkan hasil perbuatan manusia, yaitu para menteri keuangan di masa yang lalu.
Tingginya pembayaran bunga utang adalah akibat dari kebijakan penentuan kupon surat utang pemerintah Indonesia di masa lalu yang kewenangannya ada pada menteri keuangan berdasarkan UU
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Saya coba periksa data surat utang yang diterbitkan oleh Dirjen Pengelolaan dan Pembiayaan Resiko (DJJPPR) Kementerian Keuangan di website mereka, yaitu “Outstanding Surat Berharga Negara (SBN) 2019” selama 10 tahun terakhir.
Selama periode tersebut, ada empat orang menteri keuangan yang saya amati, yaitu Agus Martowardoyo (2010-2013), Chatib Basri (2013-2014), Bambang Brodjonegoro (2014-2016), dan Sri Mulyani (2016-2019).
Sangat menarik, ternyata terdapat pola tertentu dalam kebijakan penentuan kupon surat utang dari keempat menteri keuangan tersebut. Kedua menteri, yaitu Agus Martowardoyo dan Bambang Brodjonegoro memiliki kebijakan penentuan bunga atau kupon surat utang yang sesuai dengan, atau bahkan sedikit di bawah, kurva yield surat utang pemerintah.
Sedangkan, dua menteri lainnya, Chatib Basri dan Sri Mulyani memiliki kebijakan penentuan bunga atau kupon surat utang yang selalu rentang (‘spread’) nilainya di atas kurva yield alias ketinggian.
Sedikit informasi, kurva ‘yield’ adalah sebuah kurva yang memplot besaran yield atau imbal surat utang hasil berdasarkan perbedaan jatuh tempo si surat utang, digunakan sebagai patokan alias ‘benchmark’ dalam menilai kondisi pasar surat utang.
Jadi sederhananya, di kurva ‘yield’ kita dapat mengetahui berapa seharusnya patokan bunga alias kupon untuk surat utang dengan ‘tenor’ tertentu.
Sebagai contoh pola kebijakan kupon yang sesuai kurva yield. Pada era Agus Martowardoyo diterbitkan surat utang FR0053 (8 Juli 2010), FR0054 (22 Juli 2010), dan FR0056 (23 September 2010) dengan tenor masing-masing 10, 20, dan 15 tahun.
Besaran kupon yang ditetapkan oleh Agus Martowardoyo untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,25%; 9.5%; dan 8,375%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva ‘yield’ di Juli 2010 yang untuk tenor, 10, 20, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,341%; 9,632%; dan 8,792%%.
Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Agus
Martowardoyo sesuai acuan di kurva ‘yield’, bahkan di bawah.
Pada era Bambang Brodjonegoro diterbitkan surat utang FR0072 (9 Juli 2015) dan FR0073 (6 Agustus
2015) dengan tenor masing-masing 20 tahun dan 15 tahun. Besaran kupon yang ditetapkan oleh Bambang Brodjonegoro untuk kedua surat utang tersebut berturut-turut adalah 8,25% dan 8,75%.
Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva ‘yield’ di Juli 2015 yang untuk tenor 20 tahun dan 15 tahun berturut-turut sebesar 8,26% dan 8,754%. Maka, dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Bambang Brodjonegoro sesuai acuan di kurva ‘yield’.
Kemudian, contoh pola kebijakan kupon yang tidak sesuai kurva ‘yield’ atau ketinggian. Pada era Chatib Basri diterbitkan surat utang FR0068 (1 Agustus 2013), FR0070 (29 Agustus 2013), dan FR0071 (12 September 2013) dengan tenor masing-masing 20, 10, dan 15 tahun.
Besaran kupon yang ditetapkan
oleh Chatib Basri untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,75%; 8,375%; dan 9,00%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva ‘yield’ di Juli 2013 yang untuk tenor 20, 10, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,3%; 7,871%; dan 8,201%.
Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Chatib Basri lebih tinggi 0,45%-0,8% dari bunga acuan di kurva ‘yield’. Mungkin ini yang membuat Chatib belum sempat mendapatkan gelar menteri keuangan terbaik dari majalah-majalah investasi asing, kupon yang diberikan ke investor kurang tinggi sedikit.
Yang paling monumental tentu adalah contoh di era Sri Mulyani yang kedua kalinya bersama Jokowi (yang pertama bersama SBY pada tahun 2006-2010, kami tidak perhitungkan karena sebagian besar sudah jatuh tempo).
Pada era yang katanya seorang ekonom senior “Menteri Terbalik”, karena hanya terbaik bagi orang kaya dan investor pasar uang, namun sebenarnya terburuk di kalangan rakyat yang menderita akibat kebijakan ‘austerity policy’, jadi diplesetkan.
Saya ambil contoh tujuh macam surat
utang yang bertenor dua tahun saja, yaitu: SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), SBR003 (8,55%). Padahal bila mengacu pada kurva ‘yield’ untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019, April 2019, Sri Mulyani kelebihan menetapkan bunga/kupon sebesar 1%-1,9%.
Untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating), mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan membayar bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%.
APBN Negara kita dibuat Sri Mulyani dan Chatib Basri ikut menyubsidi investor pasar uang. Rakyat kita banting tulang, “kerja, kerja, kerja”, dipajaki Sri Mulyani habis-habisan, hasil keringatnya bukan kembali kepada rakyat, tapi malah buat bayar kupon surat utang yang bunganya ketinggian.
Kepada rakyat banyak yang hidupnya masih sulit, mereka berdua pelit. Kepada segelintir 1% kalangan terkaya, investor dan broker pasar uang yang belum tentu hidup matinya di Indonesia, mereka malah bermurah hati.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)