KedaiPena.Com – Sejumlah pendengung di media sosial membelokkan pesan dari ekonom senior Rizal Ramli.
Pernyataan RR, sapaan Rizal Ramli di panggung Indonesia Lawyers Club (ILC) bertajuk “Corona: Setelah Wabah, Krisis Mengancam?” pada Selasa malam (21/4/2020) sebenarnya bermakna positif.
Tanpa basa-basi, Rizal Ramli menyerukan agar Indonesia jangan lagi jadi antek Cina. Sayang, pesan agar Indonesia bangkit itu ditangkap lain. Bahkan dibelokkan ke tuduhan bahwa mantan Menko Maritim itu telah rasis.
Karib tokoh pluralis Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu pun kecewa. Ia menegaskan bahwa tuduhan itu salah alamat dan norak. Ini mengingat orang-orang dekatnya berasal dari beragam etnis dan agama.
“RR dituduh “rasis” itu pernyataan sangat norak. RR itu paling plural, karena almarhumah istri (A Fung) adalah orang Tionghoa, anak angkat Katolik & Protestan. Teman-teman Tionghoa RR banyak sekali,” tegasnya kepada Kedai Pena, Kamis (23/4/2020).
Eks Menko Maritim ini pun memberi pencerahan kepada para pendengung bahwa yang dia kritik adalah Cina sebagai negara, yaitu Republik Rakyat Cina yang dipimpin Xi Jinping. Bukan etnis Tionghoa.
“Yang dikritik itu negara Cina (RRC), bukan etnis Tionghoa,” tegasnya.
Rizal Ramli menilai pemerintah sudah sangat pro dengan RRC, sehingga merugikan rakyat dan kepentingan nasional. Termasuk soal Corona.
“Ingat UUD kita mewajibkan kita untuk melaksanakan politik luar negeri “bebas aktif”, tidak ikut blok apapun (‘non-alligned’),” tutupnya.
Sebelumnya, Rizal Ramli yang merupakan tokoh nasional ini mengurai bahwa ada tiga negara yang diprediksi para analis akan menjadi ‘super power‘ dalam 10 tahun mendatang, yaitu Vietnam, India, dan Meksiko.
Jika ekonom-ekonom yang ada di lingkar pemerintahan diisi orang-orang hebat, maka Indonesia bisa menyodok ke urutan empat. Tapi hebat saja belum cukup, mereka juga harus mampu keluar dari jerat ketergantungan dengan negeri Cina.
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menegaskan bahwa Indonesia harus mulai menggeser kiblat politik luar negeri dan investasi tersebut.
Indonesia harus jadi negeri sendiri yang mengutamakan kepentingan rakyat untuk bisa menjadi negara yang ‘super power’.
“Ini waktunya menggeser politik luar negeri dan investasi kita, dari sangat pro Cina, antek Beijing jadi negeri kita sendiri. Ini kesempatan Indonesia jadi negeri ‘super power‘,” tegasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi