MEMBACA pemberitaan pengumuman susunan kabinet berbagai komentar muncul. Optimis boleh, skeptis juga boleh.
Nah rasanya hati ini skeptis. Komentar teman, kok bos Gojek jadi Mendikbud. Apa anak sekolah disuruh pake Gojek.
Lalu Menko Maritim Luhut bertahan untuk memanjangkan program OBOR Cina.
Prabowo akan terus menuai kontroversi. Kecuali Golkar dan PPP, semua Ketum Partai berada di luar kabinet.
Menteri Agama juga kejutan, Fachrul Razi sang Jenderal yang memimpin kementerian yang antara lain mengurus haji, madrasah, perkawinan. Katanya ada amanat untuk menangkal radikalisme.
Terhadap yang terakhir ini menjadi perhatian. Betapa agama diposisikan “bahaya” dengan bahasa radikalisme. Pemojokkan yang tak sehat.
Berbeda dengan saat dulu Alamsyah dan Tarmidzi Taher yang juga TNI ketika menjadi Menag. Ada kapasitas keduanya dan tidak terkait “misi khusus” ketentaraan seperti saat ini.
Rezim saat ini terkesan menampilkan diri “Islamophobia”. Isu radikalisme bagai isu global “terorisme” dengan sasaran adalah umat Islam.
Permainan untuk melumpuhkan kekuatan dunia Islam. Umat Islam kini merasakan bahwa radikalisme bukan fakta original. Bisa buatan atau skim pelumpuhan.
Serangan ke Kementrian Agama sampai pada sejarah perang dalam Islam mau dihapus dari kurikulum Madrasah. Berlebihan memang.
Pak Jenderal memang tidak dikenal berbasis agama. Tentu banyak yang meragukan kapasitasnya.
Harapan umat padanya jangan memfokus pada isu radikalisme semata lalu melakukan langkah represif di ruang kementrian.
Justru banyak yang lebih urgen untuk dibenahi, soal haji termasuk dana haji, soal peningkatan kualitas madrasah, pembinaan organisasi keagamaan, serta pengembangan perekonomian berbasis syariah.
Meminimalisasi korupsi dan pemborosan di lingkungan kemenag juga prioritas.
Paham keagamaan adalah baik dan tidak mungkin destruktif. Apalagi Islam yang mengajarkan akhlakul karimah (akhlak mulia) dan amal sholeh. Tentu berdimensi konstruktif.
Terus-menerus dikampanyekan seolah olah umat Islam inheren dengan radikalisme bukan saja kontraproduktif tetapi juga berbahaya.
Akan muncul sikap yang semestinya dihindari yaitu bagai orang yang sering dituduh maling padahal tidak, akhirnya maling saja sekalian.
Radikalisme yang intens dipompa dan disemburkan tanpa kendali justru menjadi penyebab dari radikalisme itu sendiri.
Nah Pak Jenderal, selamat datang, ahlan wa sahlan wa marhaban. Datanglah sebagai penyejuk, pencerah, dan pendorong kemajuan agama, bukan menjadi tukang ancam atau yang kesana sini ribut melulu dengan kalam radikalisme.
Yang sudah jelas radikal destruktif justru ada di depan mata yakni kapitalisme, liberalisme, sekularisme, syi’ah dan komunisme. Kita cegah bersama.
Assalamu ‘alaikum, Jenderal.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung