KedaiPena.Com – Pengamat politik Universitas Nasional (Unas), Yusuf Wibisono, menilai konteks pidato perdana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menjadi kecil, menyusul hiruk-pikuk pada konteks ‘pribumi’. Padahal, menurutnya, Anies piawai ‘membingkai’ nasionalisme melalui berbagai kalimat yang disampaikannya.
“Seperti dalam pepatah Batak, Banjar, Minahasa, Aceh, dan sebagainya, menurut saya, itu menunjukkan Anies memahami Jakarta sebagai sebuah provinsi sekaligus ibu kota, terdiri dari banyak suku-bangsa. Karenanya pula, Jakarta dianggap sebagai miniatur Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Senin (23/10).
Dalam pidatonya, sambung Yusuf, Anies juga menguraikan butir-butir Pancasila. Misalnya, saat membuka pidato diawali dengan mengucapkan salam ala agama-agama yang diakui di Indonesia. Selanjutnya, disusul penekanan akan kebesaran Tuhan.
“Adanya pengakuan terhadap kebesaran Tuhan di awal-awal pidato, senafas dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Anies secara tersirat juga mengakui, Indonesia bukan berdasarkan agama tertentu, sebagaimana tuduhan yang sering dialamatkan kepadanya,” jelasnya.
Poin kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia, menurutnya, juga termaktub dalam pidato Anies. Contohnya, terkait komitmen membangun Jakarta dengan siapapun tanpa terkecuali, khususnya di sektor ekonomi.
“Bunyi pidato yang intinya berjanji membangun Jakarta dengan melibatkan seluruh masyarakat, gotong royong, bagi saya, itu tafsir atas sila keempat, adanya permusyawaratan. Apalagi, Anies kan juga menjanjikan dirinya selaku gubernur bukan cuma menjadi administrator bagi penduduk Jakarta, tapi bagi kolaborasi warga kota dalam merancang pembangunan,” urainya.
Begitu pula dengan sila pamungkas. “Di pidato usai kata-kata pribumi, dia kan menjanjikan akan memperjuangkan keberpihakan terhadap warga yang tidak merasakan keadilan sosial dan contoh lain. Itu misalnya,” imbuh mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini.
Petik Hikmah
Terpisah, mantan Ketua Relawan Anies-Sandiaga Uno, Boy Bernadi Sadikin, ogah mengambil pusing atas adanya laporan ke pihak berwajib terkait diksi pribumi dalam pidato DKI-1 tersebut. Menurutnya, hal lumrah adanya pihak-pihak yang kritik terhadap pemimpin, terlebih polalisasi warga DKI pada pemilihan kepala daerah (pilkada) lalu cukup terasa.
“Biasa itu. Ambil positifnya, artinya, mereka menyimak pidato Anies, kan? Kalau enggak mendengarkan, mana mungkin bisa melapor ke polisi. Kita alhamdulillah saja, baik pendukung maupun bukan, semua menyimak pidato Anies,” jawabnya.
Eks Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DKI ini menambahkan, sebaiknya Anies tak menghiraukan laporan tersebut. Terlebih, menurut pakar hukum tata negara Mahfud MD, menyebut tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan.
“Mending Anies-Sandi lebih fokus sama janji-janji politiknya, karena pasti akan disoroti terus sama pihak ‘sebelah’. PR yang ditinggalkan gubernur kemarin juga banyak,” sarannya.
Boy pun meminta Anies menjadikan laporan terhadapnya atas pidatonya sebagai peringatan dini, bila kepemimpinannya kelak takkan mulus. “Akan banyak mungkin tantangan lebih berat ke depan, apalagi soal reklamasi, yang berhadapan dengan ‘orang besar’. Tapi, buat saya, buat apa lapor ke polisi? Buang-buang energi saja,” tutup putra sulung Gubernur DKI era 1966/1997, Ali Sadikin itu.