KedaiPena.com – Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo Setiyo Pranowo menyatakan jika terjadi peningkatan suhu air laut, maka akan terbuka potensi ancaman pada ketahanan sumber daya laut Indonesia, baik untuk ekosistem laut maupun ketersediaan pangan.
“Secara teoritik, naik turunnya suhu laut akan berdampak terhadap kenyamanan kehidupan biota laut termasuk ikan ekonomis sebagai sumber pangan manusia,” Widodo, Senin (6/11/2023).
Ia menjelaskan setiap jenis biota laut dan ikan, memiliki kisaran suhu laut untuk nyaman hidup dan berkembang biak. Ketika suhu laut mengalami perubahan atau anomali yang ekstrim, baik di bawah maupun melebihi suhu optimum, maka biota bisa mati dan/atau bermigrasi mencari lautan dengan kondisi yang lebih nyaman.
“Kondisi tersebut di atas akan berdampak kepada berkurangnya hasil tangkapan ikan atau sumber pangan laut bagi manusia, yang populasinya cenderung meningkat,” tuturnya.
Widodo menyebutkan produksi penangkapan ikan di laut bisa saja ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tapi akan membuka ancaman lainnya.
“Kalau ditingkatkan, akan membuka potensi peningkatan emisi karbon, sehingga malah akan semakin meningkatkan pemanasan suhu udara global (global warming),” tuturnya lagi.
Anggota Scientific Advisory Board untuk Korea – Indonesia Marine Technology Cooperation and Research Center (MTCRC) ini menjelaskan dalam pemantauan suhu laut, ia menggunakan dataset suhu permukaan laut yang diakuisisi (diukur dan direkam) oleh citra satelit dari Januari 2004 hingga Mei 2022, dan dataset suhu laut kedalaman 0 hingga 100 meter yang diakuisisi oleh Robotic Autonomous Argo Float yang tersebar di seluruh Samudera di Bumi dari Januari 2004 hingga Desember 2022.
Lingkup wilayah spasial studi adalah melingkupi laut tropis dan sub tropis, dengan koordinat batas geografis adalah 20 lintang utara dan 20 lintang Selatan.
Terdapat selisih 2 derajat Celsius pada suhu laut minimum, dan selisih 1 derajat Celsius pada suhu laut maksimum, pada kisaran yang dianalisis antara data akuisisi dari citra satelit dan data akusisi dari Robotic Autonomous Argo Float. Suhu laut global hasil akuisisi citra satelit berkisar antara 16 hingga 30 derajat Celsius. Sedangkan suhu laut hasil akuisisi Argo Float berkisar 18 hingga 31 derajat Celsius.
“Secara umum, baik suhu laut global, maupun suhu laut di Benua Maritim Indonesia (BMI) sepanjang tahun 2004 hingga 2022 mengalami osilasi. Namun fase pola osilasinya sedikit mengalami perbedaan,” urainya.
Osilasi yang terjadi pada suhu laut global menunjukkan dari tahun 2004 menuju tahun 2007/2008 mengalami penurunan, kemudian kembali meningkat hingga tahun 2016/2017, kemudian kembali mengalami sedikit penurunan hingga tahun 2022.
Ketika suhu laut global yang dirata-ratakan secara spasial dengan batas koordinat geografis 0 hingga 360 Bujur Timur dan 20 Lintang Utara hingga 20 Lintang Selatan, dan kemudian dirata-ratakan dari kedalaman 0 hingga 100 meter, maka didapatkan suhu laut minimum sekitar 24,8 derajat Celsius yang terjadi pada tahun 2008, sedangkan suhu laut maksimum sekitar 26 derajat Celsius.
Widodo mengungkapkan osilasi suhu laut di BMI, menunjukan pola fase yang unik. Ketika meninjau suhu laut di BMI dan sekitarnya yang dirata-ratakan secara spasial dengan batas koordinat geografis 90 hingga 150 Bujur Timur dan 20 Lintang Utara hingga 20 Lintang Selatan, yang juga kemudian dirata-ratakan dari kedalaman 0 hingga 100 meter, maka didapatkan suhu laut minimum sekitar 25,8 derajat Celsius terjadi di awal tahun 2016, dan suhu laut maksimum adalah hampir 28 derajat Celsius terjadi di pertengahan tahun 2016.
“Apabila kedua dataset suhu laut 2004-2022 tersebut dianalisis kondisi anomalinya terhadap kondisi suhu laut rata-rata 15 tahun (2004-2018), maka terlihat peningkatan maksimum suhu laut global sebesar 0,6 derajat Celsius di atas kondisi rata-ratanya terjadi pada tahun 2016, sedangkan di BMI peningkatan maksimum suhu laut sebesar 0,8 derajat Celsius di atas kondisi rata-ratanya terjadi pada pertengahan tahun 2016,” ungkapnya.
Ia menyatakan belum dilakukan analisis untuk tahun 2023, untuk mengetahui kecenderungan suhu laut.
“Namun apabila melihat tren dari 2004 hingga 2022, maka hipotesa kecenderungannya seharusnya adalah menurun di tahun 2023. Jika, faktanya terjadi kenaikan, maka patut diwaspadai kemungkinan adanya kopling antara dampak perubahan iklim secara cepat (rapid onset), dan dampak perubahan iklim secara lambat (slow onset),” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa