KedaiPena.Com -Perubahan dan pelatihan kurikulum baru harus dilakukan oleh orang berkompetensi di bidangnya dan telah melewati proses persiapan matang. Sehingga tidak menimbulkan persepsi berbeda terkait implementasi program Sekolah Penggerak.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof. Said Hamid Hasan menyatakan, perubahan kurikulum merupakan suatu hal yang jamak dilakukan.
Terlebih lagi, kata dia, saat kurikulum sudah dianggap tidak relevan dengan dinamika masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
“Tidak pernah ada rumus tentang berapa lama suatu kurikulum harus diubah atau diperbaiki. Ini adalah hal yang mengikuti saja. Selama perubahan itu dilakukan oleh orang yang benar-benar mengerti kurikulum dan ada dasar kajiannya, mengapa kurikulum tersebut harus dirubah atau dikembangkan,” kata Prof Hamid dalam diskusi online kurikulum baru, ditulis, Jumat, (25/6/2021).
Ia menegaskan, bahwa kurikulum bukanlah mata pelajaran, yang bisa dikembangkan hanya oleh pendidik tertentu.
“Pengembangan atau perubahan kurikulum ini dilakukan dengan melibatkan orang-orang sudah berkecimpung dalam materi tersebut. Bukan hanya konten tapi juga metodologinya. Jadi ya meliputi profesor bidang ilmu itu, para pengajar dari seluruh wilayah Indonesia. Agar mereka bisa mengembangkan KD-nya,” tuturnya.
Dalam merubah kurikulum, kata dia, harus diingat ada keputusan dan Kementerian PANRB yang menyatakan bahwa pengembangan kurikulum harus dilakukan oleh yang berwenang di bidang kurikulum.
“Artinya, orang Puskurbuk yang memegang amanah dalam mengembangkan ditambah orang-orang yang berkompetensi dalam pengembangan kurikulum. Kalau bukan dari pihak ini, artinya ada kesalahan secara hukum. Keputusan PanRB ini kan jadinya dilanggar,” tutur mantan Ketua Pengembang Kurikulum Indonesia ini.
Ia menegaskan, penyederhanaan kurikulum juga merupakan hal yang boleh saja dilakukan. Selama memang hal itu dilakukan oleh pihak yang memahami kurikulum itu apa.
“Contohnya, antara konten dan pengetahuan itu kan berbeda. Konten itu berisi pengetahuan, sikap dan kompetensi. Apalagi kalau menyamakan antara konten dengan kompetensi. Ini sangat berbahaya,” ujar Prof Hamid.
Ia jua menyebutkan, bahwa perubahan kurikulum harus didahului dengan perubahan standar pencapaian dan standar penilaian.
“Perubahan kurikulum ini bukan lah komoditas politik. Tapi merupakan suatu proses pendidikan jangka panjang yang didasari oleh naskah akademik dan kajian dari banyak penelitian serta tak lupa keterikatan pada aspek hukum,” ujarnya.
Kalaupun memang akan diterapkan, lanjutnya, harus dicantumkan dalam rancangan kurikulum tersebut kapan akan diterapkan.
“Artinya, harus ditentukan kapan diterapkan pada sekolah penggerak, misalkan. Lalu sekolah penggerak ini karakteristiknya seperti apa. Berapa lama diterapkan di sekolah penggerak saja dan kapan akan diterapkan pada sekolah yang non penggerak. Standar penentuannya apa. Pengembangan prinsipil dan juknisnya seperti apa,” tandasnya.
Terkait pelatihan para guru, dalam program Sekolah Penggerak, Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim menyebutkan,adanya perbedaan dalam pelatihan, yang membuat pelatihan ini dirasakan tidak menunjang proses pelaksanaan.
“Dalam pelatihan 10 hari yang dilakukan secara online dua minggu lalu itu, tidak ditemukan struktur. Yang ada hanya narasumber, yang dulu saat kurikulum 2013 disebut Instruktur Nasional atau IN. Mereka ini lah yang melatih kami dalam pelatihan tersebut,” kata Satriwan.
Di level narasumber ini, Satriwan menyebutkan sudah ada perbedaan terkait kapan pelaksaan program Sekolah Penggerak ini.
“Ada yang bilang Juli 2021 ini akan dimulai. Ada yang bilang tidak. Nah, untuk yang elementer seperti ini saja sudah berbeda di narasumber. Apalagi di level kami, yang merupakan orang yang dilatih oleh mereka. Tentunya akan memiliki persepsi yang berbeda. Padahal kami sudah diwajibkan untuk mengimbaskan informasi ke teman sejawat, dengan catatan nilai yang didapatkan oleh para guru yang dilatih ini berbeda-beda. Sehingga timbul pertanyaan, apakah kami memenuhi kualifikasi untuk mengajar teman-teman kami?,” tuturnya.
Ia menyatakan, dari berbagai hal, ia menganggap bahwa program Sekolah Penggerak ini belum siap untuk diimplementasikan.
“Melihat pada implementasi 2013, itu dilakukan secara berstruktur dari nasional, pusat, provinsi hingga ke level kabupaten. Tidak gelondongan begini pelatihannya. Dan pemberi pelatihannya juga memanh sudah memiliki paradigma sama dan bulat. Sehingga tidak ada lagi yang namanya berbeda persepsi,” pungkasnya.
Laporan: Natasha