Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Kawan di negeri Khayal bertanya, bagaimana cara menghitung pertumbuhan ekonomi. Yang bersangkutan terlihat bingung, karena menganggap fakta dan angka tidak sesuai. Diskusi kemudian berkembang menarik dan disampaikan contoh perhitungan sebagai berikut.
Tahun lalu, negeri Khayal memproduksi produk A sebanyak 1.000 unit, diekspor dengan harga US100 per unit, sehingga total ekspor negeri Khayal menjadi USD100.000.
Tahun ini, harga produk A naik menjadi USD200 per unit, produksi dan ekspor negeri Khayal tetap 1.000 unit, tetapi total nilai ekspornya melonjak menjadi USD200.000. Berapa pertumbuhan riil ekspor negeri Khayal?
Berdasarkan data di atas, ekspor nilai nominal (harga berlaku) negeri Khayal pada tahun lalu dan tahun ini masing-masing USD100.000 dan USD200.000, artinya pertumbuhan nilai nominal ekspor adalah 100%, sesuai kenaikan harga dari USD100 menjadi USD200 per unit: inflasi.
Tetapi, berapa pertumbuhan sebenarnya, yaitu pertumbuhan riil, atau pertumbuhan harga konstan?
Yang dimaksud dengan pertumbuhan riil adalah pertumbuhan jumlah barang (produksi) dan ekspor: atau kuantitas. Dalam hal negeri Khayal, pertumbuhannya 0 persen, karena produksi dan ekspor tahun lalu dan tahun ini sama besar, 1.000 unit, artinya tidak ada pertumbuhan.
Perhitungan matematisnya sebagai berikut. Pertama, nilai nominal (tahun ini) disetarakan (dikonversi) menjadi nilai riil (tahun lalu): ekspor nilai nominal tahun ini dibagi kenaikan harga (deflator).
Yang menjadi pertanyaan, berapa angka deflator ini? Artinya, berapa angka inflasi yang efektif terserap di dalam perhitungan menjadi deflator, untuk konversi nilai nominal menjadi nilai riil?
Inflasi, kenaikan harga di negeri Khayal di atas 100 persen, harga naik dari USD100 menjadi USD200 per unit.
Kalau angka inflasi ini seluruhnya terserap dalam perhitungan faktor konversi nilai nominal menjadi nilai riil, atau deflator, maka diperoleh perhitungan pertumbuhan riil seperti di atas, yaitu 0 persen.
Tetapi apa yang terjadi kalau hanya sebagian dari kenaikan harga yang terserap di dalam perhitungan deflator, misalnya hanya 60 persen (bukan 100 persen)?
Dalam hal ini, pertumbuhan riil (seolah-olah) sangat tinggi, melonjak menjadi 25 persen, karena nilai nominal ekspor tahun ini yang sebesar USD200.000 dianggap setara dengan USD125.000 tahun lalu: USD200.000 (1+60%) = USD125.000. Sehingga seolah-olah tercipta pertumbuhan 25 persen, dari USD100.000 menjadi USD125.000.
Coba hitung berapa pertumbuhannya kalau deflator hanya 50 persen atau 25 persen? Semakin rendah angka inflasi terserap dalam deflator, maka pertumbuhan (ilusi) semakin tinggi. Dalam hal deflator hanya 25 persen, maka pertumbuhan (ilusi) melonjak menjadi 60 persen.
Negeri Khayal senang, dapat membodohi rakyatnya dengan prestasi ilusi gemilang. Rakyat negeri Khayal bingung. Produksi tetap kok dibilang pertumbuhan tinggi: 25 persen atau bahkan 60 persen? Siapa yang bodoh?
[***]