Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I (Q1) 2024 sebesar 5,11 persen. Banyak yang terheran-heran. Tepatnya meragukan. Bagaimana mungkin!?
Keraguan atas pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan kali ini saja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 yang mencapai sekitar 5 persen juga menjadi pertanyaan banyak pihak, termasuk dari luar negeri.
Gareth Leather, ekonom Capital Economics Ltd yang berbasis di London, menyatakan ragu terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang secara mencurigakan stabil selama beberapa tahun terakhir. Gareth Leather: “We don’t have much faith in Indonesia’s official GDP figures, which have been suspiciously stable over the past few years.” Karena, berdasarkan pemantauan indikator ekonomi bulanan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan tajam.
Ekonom lainnya yang berbasis di Hong Kong, Trinh Nguyen, juga menyatakan hal yang sama. Trinh Nguyen bingung bagaimana ekonomi bisa tumbuh pada tingkat yang relatif sama untuk jangka waktu yang sangat panjang, sedangkan belanja pemerintah melemah, investasi melambat dan impor turun tajam.
Ekonomi 2019 bertumbuh 5,06 persen (Q1), 5,05 persen (Q2), 5,01 persen (Q3) dan 4,96 persen dibandingkan periode sebelumnya (y.o.y). Secara tahunan, ekonomi 2019 tumbuh 5,02 persen. Lihat tabel. Data pertumbuhan ekonomi ini sangat meragukan, karena indikator ekonomi bulanan melemah, sehingga patut dicurigai ada manipulasi.
Pertumbuhan ekonomi memang sangat mudah dibuat bias, alias dimanipulasi, dengan hanya mempermainkan tingkat inflasi (disebut deflator) pada setiap kategori konsumsi (rumah tangga, pemerintah, investasi, ekspor dan impor).
Pertumbuhan ekonomi dapat dibagi menjadi dua, terdiri dari aktivitas domestik dan aktivitas perdagangan internasional (ekspor-impor). Pertumbuhan ekonomi 2019 dari aktivitas domestik secara konsisten turun terus dari 4,63 persen (Q1) menjadi 4,16 Persen (Q2), 3,86 persen (Q3) dan 3,16 persen (Q4). Data ini sesuai dengan data indikator bulanan yang terus melemah.
Data perdagangan internasional (ekspor-impor) juga melemah. Tetapi, pertumbuhan net ekspor (ekspor-impor) bisa tumbuh positif sangat besar. Bahkan pertumbuhan net ekspor pada Q3/2019 mencapai 2,0 persen, lebih dari setengah pertumbuhan aktivitas domestik yang hanya 3,86 persen. Pertumbuhan net ekspor sebesar 2,0 persen ini diperlukan untuk ‘mempertahankan’ pertumbuhan ekonomi Q3/2019 menjadi sekitar 5,0 persen (dalam hal ini menjadi 5,01 persen).
Caranya sangat mudah. Hanya memainkan tingkat inflasi (deflator) saja. Kalau inflasi dibuat lebih tinggi dari seharusnya, maka pertumbuhan ekonomi riil menjadi lebih rendah. Sebaliknya, kalau inflasi dibuat lebih rendah dari seharusnya, maka pertumbuhan ekonomi rill menjadi lebih tinggi: alias over-estimated, alias digelembungkan.
Data inflasi (deflator) 2019 dapat dilihat di tabel di bawah ini. Pertama, indeks harga pembelian konsumsi pemerintah (deflator) jauh di bawah konsumsi rumahtangga (masyarakat). Kok bisa? Inflasi konsumsi pemerintah pada Q3/2019 hanya 0,77 persen, jauh di bawah inflasi konsumsi rumahtangga sebesar 3,46 persen. Bahkan inflasi konsumsi pemerintah pada Q4/2019 negatif 0,59 persen, alias deflasi. Sedangkan inflasi konsumsi rumahtangga pada Q4/2019 masih tinggi, 3,05 persen. Data inflasi untuk konversi nilai nominal menjadi nilai riil ini sangat aneh dan tidak bisa dipercaya.
Meskipun demikian, keanehan inflasi konsumsi pemerintah belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 5 lima persen. Untuk itu, perlu memainkan tingkat deflator (inflasi) ekspor-impor. Untuk ekspor, deflator dibuat rendah (agar nilai riil menjadi lebih tinggi), dan untuk impor deflator dibuat tinggi (agar nilai riil menjadi lebih rendah), sehingga net ekspor, yaitu ekspor minus impor, menjadi lebih tinggi.
Sejalan dengan itu, maka inflasi (deflator) ekspor 2019 (dibuat) turun terus (deflasi) sejak Q1, dan terus membesar hingga mencapai minus (atau deflasi) 9,45 persen pada Q3. Sedangkan inflasi (deflator) impor dibuat relatif sangat tinggi, mencapai 5,22 persen pada Q1/2019, jauh lebih tinggi dari inflasi (deflator) konsumsi-konsumsi lainnya, dan kemudian secara perlahan-lahan turun (disesuaikan dengan target pertumbuhan 5 persen?).
Kembali ke pertumbuhan ekonomi Q1/2024. Metodenya sama. Pertumbuhan ekonomi nilai nomial (harga berlaku) pada Q1/2024 hanya 4,26 persen saja. Tetapi pertumbuhan ekonomi riil (nilai konstan) pada Q1/2024 bisa mencapai 5,11 persen. Artinya, terjadi deflasi 0,81 persen pada Q1/2024 dibandingkan Q1/2023. Apa benar?
Kemudian, yang perlu dipertanyakan secara kritis, apakah benar inflasi (deflator) investasi (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto) hanya 1,14 persen, inflasi (deflator) ekspor minus 3,47 persen, dan inflasi (deflator) impor plus 2,11 persen? Atau sudah disesuaikan, alias dimanipulasi, untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen?
Kecurigaan ini masuk akal. Karena, banyak aktivitas ekonomi juga melambat pada Q1/2024. Antara lain, penjualan mobil dan penjualan motor, masing-masing turun 23 persen dan 4,87 persen pada Q1/2024. Maka itu, bagaimana mungkin ekonomi masih bisa bertumbuh 5,11 persen?
Apakah BPS juga menggunakan sistem IT seperti Sirekap yang mempunyai bot otomatis, yang dapat menyesuaikan pertumbuhan ekonomi selalu di sekitar 5 persen, dalam kondisi apapun?
[***]