KedaiPena.Com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2020 akan mengalami kontraksi atau minus 5,32 persen. Jika nantinya kembali mengalami minus di kuartal III maka Indonesia akan mengalami resesi.
Ekonom Senior Drajad Wibowo mengatakan minusnya, pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2020 menandakan Indonesia sangat butuh pandemi ini dikendalikan.
“Sebagai bukti, mari lihat PDB menurut pengeluaran. Saya monitor sejak 1998, angka pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga biasanya tidak banyak berbeda. Pergerakannya pun searah,” kata Drajad, Sabtu, (8/8/2020).
Pada tahun 2020, lanjut Drajad, demikian, lantaran pada kuartal I-2020, konsumsi tumbuh 2,83% sementara ekonomi tumbuh 2,97%.
“Pada kuartal II-2020, konsumsi terkontraksi minus 5,51%, ekonomi minus 5,32%. Selain itu, konsumsi menyumbang 55-60% dari PDB, di mana pada kuartal II-2020 angkanya 57,9%,” ungkap Politikus senior PAN ini.
Jika dibedah lebih dalam, tegas Drajad, semua jenis konsumsi tumbuh minus. knsumsi restoran, hotel dan transportasi serta komunikasi malah minus dua dijit, yaitu minus 16,5% dan minus 15,5%.
“Efeknya, semua penjualan eceran terkontraksi, mulai dari makanan, pakaian hingga budaya dan rekreasi. Bahkan penjualan rokok yang biasanya tahan banting pun anjlok. Penjualan wholesale untuk mobil dan motor terkontraksi. Demikian juga dengan transaksi kartu kredit, debit dan e-money,” tegas Drajad.
Drajad menambahkan, dibanding konsumsi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi relatif lebih lemah hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi.
“Tapi peranan investasi ini cukup besar, per kuartal II-2020 mencapai hampir 31% dari PDB. Semua jenis PMTB tumbuh minus, bahkan mencapai minus 34% untuk kendaraan,” ungkap Drajad.
Drajad menilai, alasan pemerintah menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pemicunya. Bahkan Presiden sempat berkata, jika lockdown dilakukan, mungkin pertumbuhan bisa minus 17% sebagai pandangan keliru.
“Ini adalah pandangan yang keliru dan myopic. Memang PSBB membatasi pergerakan orang, sehingga otomatis konsumsi dan investasi terganggu. Tapi di Indonesia PSBB kan sangat longgar. Pergerakan orang tetap tinggi,” tegas Drajad.
Bahkan meski kasus masih naik, lanjut Drajad, PSBB dipaksakan dibuka awal Juni. Jadi hampir 1/3 dari periode kuartal II-2020 itu tanpa PSBB atau hanya sekedarnya.
“Toh kontraksi ekonomi tetap tinggi.
Masalahnya bukan di PSBB. Masalahnya adalah rendahnya kepercayaan atau confidence dari konsumen dan investor, karena Indonesia dinilai jelek dalam mengatasi pandemi,” tandas Drajad.
Laporan: Muhammad Lutfi