Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, Dosen Universitas Bung Karno.
Terima kasih pada kenaikan harga komoditi dunia sebagai imbas dari berlarutnya invasi Rusia ke Ukraina. Sehingga pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II 2022 naik sedikit ke 5,4 persen (dari 5 persen di kuartal I 2022), menjadi yang tertinggi selama masa pemerintahan Jokowi.
Namun mengapa masyarakat masih seperti tidak merasakan dampak pertumbuhan ekonomi ini. Hidup masih susah. Lapangan pekerjaan masih sulit didapat, harga-harga kebutuhan pokok melonjak menggerus daya beli, biaya pendidikan semakin tinggi tidak terjangkau, dan kasus kurang gizi masih kerap terdengar. Hingga saat ini menurut data BPS jumlah desa atau kelurahan di Indonesia yang penduduknya menderita kekurangan gizi mencapai 12 ribuan desa. Lantas apa yang salah dengan angka pertumbuhan ekonomi 5,4 persen ini? Mari kita periksa.
Diolah dari data BPS juga: selama periode kuartal I ke kuartal II tahun 2022, pertumbuhan nilai tambah bruto PDB (added value) berdasarkan lapangan usaha yang terbesar disumbang oleh Industri Pertambangan dan Penggalian sebesar Rp169 triliun. Dari keseluruhan pertumbuhan nilai tambah bruto PDB sebesar Rp332 triliun, Industri Pertambangan dan Penggalian menyumbang separuhnya (51 persen).
Terbesar kedua adalah sektor Pertanian Kehutanan dan Perikanan, yang pertumbuhan nilai tambah bruto adalah sebesar Rp72,1 triliun (22 persen). Sementara industri pengolahan yang selalu dielu- elukan hanya bertambah Rp11,5 triliun (3,5 persen). Lebih kecil dari pertumbuhan nilai tambah Transportasi dan Pergudangan sebesar Rp27,4 triliun (8,3 persen) dan juga sektor administrasi pemerintahan pertahanan dan Jaminan Sosial sebesar Rp15,5 triliun (4,7 persen).
Sektor pertambangan dan penggalian selama semester I 2022, atau Januari hingga Juni, telah menghasilkan nilai tambah bruto PDB sebesar Rp1.115 triliun. Melonjak 74 persen dari periode yang sama tahun 2001, yang hanya menghasilkan nilai tambah bruto PDB sebesar Rp641 triliun.
Sementara komoditi paling unggul dalam pertambangan dan penggalian tentu adalah batubara. Yang bila dibandingkan dengan periode semester I 2021 (286 juta metrik ton), produksi batubara pada semester I 2022 (360 juta metrik ton) bertumbuh 26 persen. Sementara harga batubara pada periode yang sama telah meroket 260 persen (dari kisaran $70-$100 di semester I-2021 ke kisaran $170-$360 di semester I-2022).
Sungguh cuan para pebisnis batubara, mendapatkan windfall profit. Sayang pemerintah Indonesia agak terlambat menerbitkan PP No 15 tahun 2022, yang mengenakan royalty 27 persen saat harga batubara di atas $100/MT sejak April 2022. Setidaknya sudah 10 bulan negara sudah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dari legitnya harga komoditi batubara. Total kehilangan pendapatan dari royalty sejak Juli 2021 hingga April 2022 kira-kira mencapai Rp150 triliun.
Jadi meskipun ekonomi bertumbuh tinggi ditopang kenaikan harga komoditi, sayang sekali pemerintah kehilangan potensi pendapatan royalti Rp 150 trilun dari komoditi batubara.
Seperti diberitakan, beberapa hari lalu Pemerintah Indonesia baru menambah utang sebesar Rp121 triliun. Terlihat betapa besar sebenarnya kerugian Negara. Seharusnya dengan tambahan royalti Rp150 triliun dari batubara, Pemerintah tidak perlu berutang seperti yang dilakukannya tersebut. Seharusnya juga dengan tambahan pendapatan royalti Rp150 triliun tersebut Pemerintah dapat membuka lapangan kerja, menstabilkan harga-harga pangan, menambal subsidi energi, mensubsidi biaya pendidikan rakyat, atau menanggulangi kasus kurang gizi di 12 ribu desa. Akhirnya yang buntung tetap rakyat kebanyakan, wong cilik.
Pengusaha batubara makin kaya karena lolos dari kewajiban bayar royalti, sedangkan masyarakat tidak dapat apa-apa selain kesulitan yang disebutkan sebelumnya. Wajar bila beberapa minggu lalu BPS menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia, yang diukur dengan Indeks Gini, nilainya kembali memburuk. Indeks Gini anjlok ke 0,84 dari sebelumnya 0,81 pada September 2021. Terbukti pertumbuhan ekonomi 5,4 persen ini bukan untuk rakyat banyak.
[***]