DI era tahun 1980 hingga akhir 1998, analisis tentang dinamika masyarakat didominasi oleh teori state versus society, yaitu rakyat yang tanpa saluran politik resmi negara berhadap-hadapan dengan kekuasaan negara otoriter.
Di akhir cerita yaitu pada tahun 1998, kekuasaan negara akhirnya mengikuti keinginan rakyat yaitu demokratisasi di segala bidang.
Itulah gerakan reformasi 1998 yang dianggap menjadi penyelamat rakyat, dengan harapan lewat demokrasi politik akan meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan.
Faktanya, demokrasi politik menghasilkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar lagi. Saat Suharto lengser, indeks ketimpangan di kisaran 0,3 sementara saat ini sekitar 0,4.
Kita memang sudah mengadopsi sistem demokrasi. Namun sistem demokrasi ini sangat liberal di saat tingkat pendidikan rata-rata rakyat yang masih rendah serta PDB perkapita yang juga masih rendah yaitu sekitar USD 3900 plus ketimpangan sosial yang tinggi.
Akibatnya, demokrasi pasti tidak berkualitas karena “para pemimpin” baik di eksekutif maupun legislatif, terpilih karena sogokan uang kepada rakyat (money politics) atau “cengkraman mistis” sebagai konsekuensi dari tingkat pendidikan yang masih rendah.
Dengan keberhasilan “dipilih oleh rakyat” dengan cara demikian itu , “para pemimpin terpilih” tetap menganggap dirinya murni semurni-murninya wakil rakyat.
Ditambah lagi ketika kelompok yang diharapkan beroposisi ternyata bergabung dengan kekuasaan, maka “para pemimpin gabungan” itu bisa sekehendak hati membuat peraturan atau kebijakan yang dianggapnya pasti akan didukung rakyat.
Sementara rakyat sendiri tidak punya lagi saluran untuk menyuarakan kehendaknya karena semua saluran itu telah dikooptasi atau dikuasai oleh negara.
Faktanya, karena politik uang dan tingkat pendidikan yang masih rendah itulah, sesungguhnya telah terjadi keterlepasan (decoupling) antara kehendak pemilih yaitu rakyat dengan “para pemimpin” yang dipilihnya.
Ketika keterlepasan ini ternyata berhadap-hadapan, maka terjadilah fenomena gerakan rakyat melawan kekuasaan negara.
Berbagai aksi mahasiswa, buruh, tani bahkan pelajar yang marak hari-hari ini menunjukkan pertentangan antara kehendak rakyat dan kehendak negara.
Titik-titik perbedaan antara negara dan masyarakat itu adalah pengesahan UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan dan sebagainya.
Semua produk UU atau RUU yang dibuat oleh “para pemimpin terpilih” ternyata mengarah kepada perwujudan negara kapitalisme primitif berbasis oligarki –otoritarian-rente sehingga semua itu tidak dikehendaki oleh rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh gerakan mahasiswa, buruh dan tani bahkan pelajar.
Hanya kaum intelektual picisan yang menganggap bahwa gerakan rakyat itu tidaklah mewakili rakyat Indonesia yang jumlahnya sekitar 260 juta jiwa.
Lebih jauh lagi hanya intelektual gadunganlah yang menganggap bahwa gerakan rakyat itu ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Bahwa kelak di akhir gerakan rakyat tersebut ada pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan, maka itulah sejatinya gelombang perubahan untuk mencapai keseimbangan baru (new equilibrium).
Pertanyaannya, untuk mencapai keseimbangan baru itu, apakah diperlukan korban yang banyak atau cukup dengan mawas diri dan introspeksi diri dari “para pemimpin terpilih” itu sehingga dapat mengambil kebijakan yang juga menjadi kehendak rakyat kebanyakan.
Oleh Jumhur Hidayat, Aktivis Senior