PERTEMUAN IMF dan World Bank 8 – 14 Oktober 2018 direncanakan akan mengeluaran dana dari pemerintah kita sebesar Rp1 triliun. Dana ini sangat besar mengingat bahwa sebetulnya ini pertemuan rutin tahunan dari IMF-WB, namun setiap 3 tahun mereka selalu berpindah dari satu negara ke negara lainnya.
Tahun 2015 diadakan di Lima ibukota Peru, 2012 di Tokyo Jepang, 2009 di Istambul Turki dan 2006 di Singapura. Kita adalah anggota IMF dan WB yang membayar iuran, saat ini kita tidak mempunyai utang kepada IMF. Kita memang mempunyai utang kepada World Bank cukup besar, namun kita selalu membayar dengan tertib disertai bunganya dan tepat waktu. Jadi kita harus bisa bersikap dengan kepala tegak menghadapi mereka.
Seharusnya kita hanya perlu meneluarkan biaya untuk pengaturan acara, pengaturan akomodasi, pengaturan dan penjadwalan kedatangan keberangkatan para tamu, pengaturan persidangan dan para krunya, pengaturan para wartawan dan media, pengaturan informasi, pengaturan makanan dan ‘snack’ di persidangan, dan pengaturan sekuritinya serta pertolongan medisnya bila diperlukan.
Mereka ini semuanya orang lokal dengan biaya yang tidak terlalu besar. Memang jumlah orang yang datang konon 15.000 orang. Dan untuk memperlancar lalu lintas akan dibangun ‘underpass’ di dekat bandara Ngurah Rai. Namun biaya underpass itupun maksimal hanya Rp150 sampai Rp175 miliar. Bandingkan dengan biaya Simpang Susun Semanggi yang Rp360 miliar dan memerlukan struktur dan fondasi yang sangat kuat karena memerlukan tiang-tiang penyangga dan mengambang jauh di atas tanah. Sehingga keseluruhan biayanya seharusnya jauh lebih murah dari pada Rp1 triliun .
Manfaat perhelatan IMF-WB ini pun terbilang kecil dan hanya sesaat. Memang akan mendatangkan 15.000 tamu asing , tetapi sidangnya sendiri hanya akan berlangsung 3 hari meskipun dengan persiapan dan sebagainya, bisa sampai 5 atau 7 hari. Namun setelah itu tidak ada kegiatan lagi. Tidak ada investasi, tidak ada pembukaan lapangan kerja, tidak ada pertumbuhan ekonomi walaupun lokal Bali, tidak ada pendapatan pajak dan sebagainya.
Kita bisa bandingkan dengan kegiatan menyambut kedatangan Presiden Perancis Francois Hollande 29 Maret 2017 yang hanya satu hari tetapi membawa manfaat langsung yang konkret bagi Indonesia. Beserta rombongannya ikut 40 pengusaha besar yang komit dengan investasi senilai US $ 2,6 miliar atau setara dengan Rp34,5 triliun.
Kedatangan mereka membicarakan peningkatan kerjasama perdagangan dimana Indonesia masih defisit US $ 490 juta, membicarakan persoalan kelapa sawit dimana harga ekspor kita masih terganjal oleh anggota parlemen Perancis yang ingin mengenakan pajak tinggi bagi ekspor CPO kita, menandatangani nota kesepahaman terutama kerjasama bilateral di bidang maritim dan ekonomi kreatif seperti perfilman, ‘fashion’ dan ‘video game’. Selain itu juga kerja sama di bidang pertahanan dan persenjataan, kerjasama dibidang infrastruktur pelabuhan dan transportasi udara dengan industri pesawat terbang Airbus.
Apabila menteri-menteri ekonomi Presiden Jokowi mampu dan komit untuk melaksanakan program-program kerjasama dengan Perancis itu, maka jelas kedatangan Presiden Perancis Francois Hollande itu membawa manfaat ekonomi yang konkret dan menambah tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, membuka peluang kesempatan kerja yang besar, memajukan industri kita dan mempunyai ‘multiplier effect’ yang besar, dan akan menimbulkan pendapatan pajak bagi negara.
Kedatangan Perdana Menteri Shinzo Abe yang juga hanya satu hari, Minggu, 15 Januari 2017, membawa 30 CEO perusahaan-perusahaan multi nasional, memproses diantaranya 3 proyek besar yaitu proyek kereta api cepat Jakarta-Surabaya yang investasinya diperkirakan akan menelan biaya $ 7,8 miliar atau lebih dari Rp103 triliun . Proyek lain yang akan dikerjakan adalah pelabuhan Patimban, Jawa Barat, senilai $ 3 miliar atau sekitar Rp40 triliun dan proyek besar blok gas Masela di Maluku Selatan yang nantinya bisa menjadi generator tumbuhnya industri petrokimia di Indonesia Timur yang memberikan ‘multiplier effect’ yang besar.
Sama dengan di atas apabila menteri-menteri ekonomi Presiden Jokowi mempunyai kemampuan dan komitmen untuk menindaklanjuti program-program ini tentu bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja yang luas dan ‘multiplier effect’ yang besar dan menimbulkan pendapatan pajak.
Contoh yang lain lagi adalah kunjungan Raja Salman bin Abdulazis dari Arab Saudi, 1 -3 Maret di Jakarta-Bogor yang dilanjutkan dengan liburan di Bali selama satu minggu dengan 200an rombongannya jelas memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Investasi senilai $ 6 miliar atau Rp89 triliun bagi proyek kerjasama dengan PT Pertamina membuat kilang minyak di Cilacap.
Selain itu juga ada pendanaan proyek sebesar $ 1 miliar bekerjasama dengan pemerintah. Walaupun Presiden Jokowi sedikit kecewa karena ternyata investasi Arab Saudi di Cina 10 kali lipat lebih besar yaitu $ 65 miliar, tetapi apabila menteri-menteri ekonomi kita mampu dan komit untuk menindaklanjuti investasi Arab Saudi yang sudah ada MOU-nya akan menambah pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan menciptakan ‘multiplier effect’ yang besar serta menimbulkan pendapatan pajak.
Dari ketiga contoh diatas apabila dibandingkan dengan peristiwa pertemuan IMF-WB di Bali bulan Oktober 2018 maka keuntungan bagi Indonesia jauh lebih kecil. Itu hanya pertemuan tahunan yang rutin diadakan setiap tahun, namun pada setiap 3 tahun diadakan berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain. Karena itu tidak usah dipandang sebagai Pesta Akbar yang menghabiskan biaya sampai Rp1 triliun. Harus jauh lebih hemat!
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik