PERTARUNGAN akbar, perdebatan dua mazhab besar ekonomi tampaknya akan terjadi sebentar lagi.
Yaitu antara mazhab ekonomi neoliberal yang diwakili Sri Mulyani, Menteri Keuangan, dan mazhab Konstitusi yang diwakili Rizal Ramli.
Kita masih ingat, Rizal Ramli juga pernah memberikan tantangan yang sama kepada Sri Mulyani di penghujung tahun 2007, waktu itu temanya tentang pencabutan subsidi BBM.
Tapi, tantangan Rizal Ramli diabaikan Sri Mulyani. Presiden SBY pun tidak memerintahkan Sri Mulyani untuk meladeni.
Saat itu tidak ada juga kelompok masyarakat yang mendukung terjadinya debat. Kini situasinya berbeda.
Awalnya dari acara Mata Najwa Ekslusif dengan tema Kartu Politik Jokowi (25/4).
Presiden Jokowi dalam acara tersebut membahas soal polemik utang dan mempersilahkan politisi atau ekonom yang masih meragukan penanganan utang untuk berdebat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kontan, “tantangan†Presiden kepada publik melalui acara Mata Najwa tersebut direspon oleh ekonom senior Rizal Ramli.
Rizal meminta difasilitasi perdebatan antara dirinya dengan Sri Mulyani secepatnya, karena sudah diperintahkan Presiden Jokowi.
Bersambut. Sosial media ramai, media memberitakan. Kalangan pergerakan juga sangat mendukung. Bahkan beberapa, seperti ormas KAMMI dan Persatuan Pergerakan, menawarkan diri menjadi penyelenggara debat.
Perdebatan tentang utang luar negeri akan mengungkap apa yang memang sudah menjadi hak publik. Hak publik untuk mengetahui dengan jelas tentang serba-serbi utang yang harus dibayar publik melalui pajak mereka.
Jadi, semisal benar terjadi perdebatan tersebut, kalau boleh kami menitip pertanyaan: tentu tentang rasio utang yang lebih layak, apakah rasio total utang per PDB ataukah rasio pembayaran cicilan dan bunga dibagi ekspor (DSER)?
Publik juga berhak mengetahui berapa besar biaya utang pemerintah, besar bunga implisit surat utang pemerintah? Mengapa bunga surat utang (bond) era Sri Mulyani lebih tinggi dari negara-negara tetangga, yang resiko utangnya lebih buruk dari Indonesia?
Berapa besar porsi utang dan bunga yang dibuat seorang Sri Mulyani selama menjabat Menteri Keuangan, di era SBY dan di era Jokowi? Apakah Sri Mulyani sengaja pasang bunga surat utang tinggi demi dapatkan penghargaan dari investor keuangan dunia, meskipun merugikan publik Indonesia?
Kemudian akan terungkap, bahwa yang selama ini disebut pruden dalam penanganan utang oleh kelompok mazhab ekonomi yang sama dengan Sri Mulyani, kenyataannya tidak prudent sama sekali.
Mazhab ekonomi yang sama telah menggadaikan pembuatan puluhan undang-undang dan peraturan di Indonesia sejak 1967 demi mendapatkan kucuran utang atau donor lembaga internasional.
Mazhab ekonomi yang sama, yang merasa IMF dan Bank Dunia adalah tuan mereka, sehingga setiap urusan internal ekonomi Republik harus dilaporkan ke mereka.
Mazhab ekonomi yang sama yang menyebabkan pendapatan perkapita Indonesia sangat lamban pertumbuhannya (pada 2020 akan tertinggal dari Malaysia yang akan berpendapatan perkapita standar negara maju -versi OECD, 2018, Indonesia baru akan mencapainya tahun 2042) dan ketimpangan pendapatan masyarakat sangat jauh dari keadilan sosial (indeks Gini 0,39 sangat jauh dari standar negara kesejahteraan, indeks Gini 0,29).
Mazhab ekonomi yang sama yang mengundang masuk Freeport tahun 1967. Mazhab yang telah menguasai kebijakan ekonomi Indonesia selama hampir 50 tahun.
Sebaliknya. Mazhab ekonomi Konstitusi yang diwakili Rizal Ramli belum pernah berkuasa lama atas kebijakan ekonomi Indonesia. Praktis hanya terjadi di era Gus Dur selama 1 tahun 9 bulan.
Salah satu prestasi yang tidak diragukan adalah Gus Dur berhasil angkat perekonomian dari minus ke positif 4,5% dengan kurangi utang dan catat rekor ketimpangan terbaik sepanjang sejarah Indonesia (indeks Gini 0,31).
Jadi debat ini adalah kesempatan untuk lebih meluaskan mazhab ekonomi Konstitusi sebagai masa depan Indonesia di 2019. Meninggalkan mazhab ekonomi neoliberal sebagai sejarah.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)