Artikel ini disusun oleh Tim Center of Reform on Economics (CORE). Penanggung jawab: Mohammad Faisal, Ph.D. Penulis: Yusuf Rendy Manilet, M.Ec.Dev, Muhammad Ishak Razak, M.A dan Azhar Syahida, MIntDevEc.
Danantara diproyeksikan mengelola total dana investasi hingga lebih dari Rp14.000 triliun (sekitar 60 persen PDB Indonesia 2024), menjadikannya dana kekayaan negara terbesar di Indonesia, jauh melampaui Indonesia Investment Authority (INA) yang mengelola dana Rp160 triliun.
Presiden Prabowo Subianto meresmikan badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara pada 24 Februari 2025. Kendati demikian, badan yang diproyeksikan mengelola aset-aset negara ini justru direspons negatif oleh pasar dan masyarakat.
Apa sebetulnya Danantara itu? Dan, apa tujuannya? Dalam UU No. 1 Tahun 2025 disebutkan bahwa Danantara adalah ‘badan yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengelolaan BUMN’. Salah satu alasan pembentukannya, mengacu di UU yang sama, adalah karena ‘pelaksanaan peran BUMN dalam perekonomian nasional sudah tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi saat ini dan ke depan, sehingga dibutuhkan pengelolaan BUMN yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan….’
Dengan pertimbangan tersebut, Danantara akan diberi wewenang untuk mengelola kekayaan negara berupa aset-aset BUMN, dividen BUMN, dan dana re-alokasi anggaran APBN. Total dana investasi Danantara diperkirakan bisa mencapai lebih dari Rp14.000 triliun atau kurang lebih sebesar 60 persen PDB Indonesia pada 2024.
Dengan dana sebesar itu, Danantara akan menjadi sovereign wealth fund (SWF) terbesar di Indonesia, melampaui Indonesia Investment Authority (INA) yang pada 2024 mengelola dana sebesar Rp160 triliun.
Dengan porsi dana mencapai 60 persen dari total PDB Indonesia, keuangan Danantara diperkirakan melampaui aset yang dikelola oleh beberapa SWF lainnya, seperti Temasek Holdings (Singapura), Khazanah (Malaysia), Future Fund (Australia), dan Korea Investment Corporation (Korea Selatan).
Pada tahap awal, pemerintah mengklaim akan menggelontorkan dana investasi sebesar 20 miliar Dollar Amerika atau sekitar Rp300 triliun, yang diambil dari realokasi APBN.
Dengan aset besar ini, Danantara dirancang untuk “meningkatkan dan mengoptimalkan investasi dan operasional BUMN” sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Presiden Prabowo menyebut badan ini sebagai “instrumen pembangunan” untuk mengoptimalkan pengelolaan kekayaan Indonesia. Investasi Danantara akan diarahkan ke sekitar 20 proyek utama di sektor hilirisasi, energi terbarukan, infrastruktur, dan kecerdasan buatan.
Proyek-proyek ini dipilih berdasarkan potensi dampaknya dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas dan meningkatkan pendapatan masyarakat jangka panjang.
Namun, hingga saat ini belum ada informasi resmi tentang proyek spesifik apa dan di mana yang akan menjadi fokus investasi Danantara. Dengan peran gandanya, Danantara memiliki dua potensi positif.
Pertama, dapat merapikan aset-aset negara yang selama ini terbengkalai. Dengan pengelolaan yang efektif, profesional, dan transparan, aset-aset BUMN yang terpusat di Danantara berpotensi menjadi solusi kekurangan dana investasi di dalam negeri.
Kedua, dengan aset besar BUMN serta dividennya, Danantara dapat menyuburkan investasi dalam negeri dengan target mengembangkan sektor prioritas sesuai kebutuhan pembangunan Indonesia.
Namun, kepercayaan publik yang rendah terhadap pembentukan Danantara—akibat sejarah kasus korupsi dalam pengelolaan BUMN—perlu ditanggapi serius oleh pemerintah.
Selain sebagai investor dalam negeri (dan rencananya di luar negeri), Danantara juga didesain untuk menarik dana asing. Fungsi pertama menunjukkan perannya sebagai pemain utama investasi, sementara fungsi kedua menempatkannya sebagai mitra investasi (coinvestor) bagi penyandang dana lain.
Pertanyaan kuncinya: apakah badan ini akan mampu mendorong investasi untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan? Seberapa jauh lembaga ini akan berhasil mengelola tantangan ekonomi global dan politik dalam negeri? Apa saja syarat agar lembaga ini berhasil?
Meskipun Danantara diharapkan menjadi mesin investasi strategis untuk mempercepat pembangunan ekonomi, ada beberapa risiko penting yang perlu diwaspadai. Pengalihan dividen BUMN ke Danantara berpotensi mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini menjadi sumber utama pendapatan negara.
Padahal kebutuhan pendanaan APBN tahun ini meningkat untuk membiayai program pemerintahan baru, sehingga defisit anggaran diproyeksikan melebar hingga 2,5 persen terhadap PDB, lebih tinggi dibanding tahun 2024.
Kemunculan Danantara juga berpotensi menimbulkan efek saling berebut (crowding-out) di pasar keuangan. Jika Danantara mencari pendanaan tambahan melalui obligasi atau instrumen utang lainnya, akan terjadi persaingan dengan swasta untuk mendapatkan modal dalam negeri, yang justru dapat menghambat investasi.
Struktur organisasi Danantara saat ini juga rentan terhadap konflik kepentingan. Dua dari tiga pimpinan utamanya masih menjabat posisi strategis di pemerintahan: Rosan Roeslani (CEO Danantara) adalah Menteri Investasi dan Hilirisasi,sementara Doni Oskaria (Kepala Operasional) adalah Wakil Menteri BUMN.
Rangkap jabatan ini berpotensi mempengaruhi keputusan bisnis Danantara. Berbeda dengan Temasek (Singapura) yang mayoritas CEO-nya berasal dari kalangan independen sejak 2004, dan pemerintah Singapura selalu menjaga jarak dari intervensi langsung.
Dengan rangkap jabatan dan pelaksana Danantara yang merupakan orang dekat Presiden Prabowo, penentuan objek investasi dikhawatirkan tidak didasarkan pada kalkulasi bisnis yang matang.
Selain itu, risiko politik juga berpotensi mencuat. Danantara lahir tidak berdasarkan kajian mendalam yang dilakukan oleh pemerintah lintas rezim. Danantara dibentuk karena inisiasi Presiden Prabowo yang menurutnya terinspirasi oleh ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo.
Ide Danantara terlihat bagus untuk mendorong investasi di dalam negeri, tetapi pemerintah perlu menjaga jarak agar implementasi bisnis Danantara berjalan sesuai dengan strategi korporat. Tapi, apakah independensi ini mungkin terjadi? Jika intervensi politik menguat dalam proses bisnis Danantara, bukan tidak mungkin hal ini dapat memperburuk iklim investasi di dalam negeri. Juga, berpotensi melemahkan investasi swasta skala kecil, menengah, dan sedang.
Pengalaman pengelolaan BUMN yang terlibat skandal korupsi juga menunjukkan bahwa Danantara berpotensi menghadapi risiko penyalahgunaan dana. Kasus Jiwasraya dan Asabri memperlihatkan pola manipulasi laporan keuangan, investasi berisiko tinggi tanpa analisis yang hati-hati, serta kolusi dengan pihak swasta yang memperkaya segelintir elite.
Tanpa pengawasan ketat dan independen, risiko penyalahgunaan dana Danantara sangat tinggi, terlebih jika pengambilan keputusan masih dipengaruhi kepentingan politik atau pribadi. Kombinasi risiko-risiko di atas akhirnya bermuara pada masalah kepercayaan.
Saat peresmian Danantara, respons masyarakat tidak meyakinkan, bahkan muncul kekhawatiran bahwa konsolidasi aset dari bank BUMN akan mempengaruhi dana masyarakat, sehingga isu penarikan dana dari bank kembali mencuat.
Skeptisisme publik terhadap Danantara ketika diresmikan berakar pada kekhawatiran akan meningkatnya risiko korupsi, moral hazard, dan penyalahgunaan kewenangan akibat konsentrasi aset negara dalam satu entitas tanpa pengawasan yang memadai.
Meski belum tentu terjadi, pengalaman kasus korupsi di Jiwasraya, Asabri, dan Garuda Indonesia menunjukkan bahwa kewaspadaan publik terhadap tata kelola Danantara bukan sekadar pesimisme, melainkan langkah preventif yang beralasan untuk mengantisipasi potensi risiko tata kelola.
Menelaah beberapa risiko di atas, dalam mengembangkan Danantara, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara tetangga yang lebih dulu mendirikan dana kekayaan negara (SWF). Singapura dan Malaysia menjadi contoh yang relevan karena keduanya membentuk SWF bukan dari surplus dana minyak atau komoditas, melainkan sebagai strategi investasi untuk industri strategis.
Namun, hasil yang dicapai kedua negara ini sangat berbeda: Temasek Holdings (Singapura) menjadi salah satu SWF tersukses di dunia, sementara 1Malaysia Development Berhad (1MDB) gagal karena skandal korupsi besar.
Keberhasilan Temasek yang berdiri sejak 1974 bersumber dari empat faktor utama: (1) independensi dari intervensi langsung pemerintah, (2) tata kelola pemerintahan yang baik sehingga terlepas dari kontrol politik berlebihan, (3) kepatuhan pemerintah Singapura pada hukum korporasi yang menciptakan iklim investasi sehat, dan (4) orientasi bisnis yang diutamakan dalam pengelolaan perusahaan.
Di Singapura, pendirian Temasek didasarkan pada prinsip bahwa pemerintah sebaiknya tidak terlibat dalam
manajemen bisnis, melainkan fokus memastikan regulasi dan kebijakan yang tepat.
Independensi ini dimaksimalkan dengan mengedepankan strategi bisnis sebagai dasar operasional perusahaan, di mana keputusan-keputusan yang diambil murni berdasarkan pertimbangan bisnis layaknya perusahaan swasta.
Sebaliknya, 1MDB yang didirikan Malaysia pada September 2009 terjerat skandal korupsi besar yang terungkap pada 2015. Beberapa penyebab kegagalannya antara lain lemahnya tata kelola internal, kegagalan lembaga pengawas dan audit, lemahnya komitmen politik dalam memberantas korupsi, dan intervensi politik berlebihan.
Berbeda dengan Temasek yang independen dan profesional, 1MDB dikelola dengan manajemen buruk dan tidak mengedepankan tata kelola bisnis yang baik, serta keputusan bisnisnya sangat dipengaruhi intervensi politik.
Dari dua pengalaman ini, kita dapat menarik pelajaran bahwa kunci sukses mengelola SWF adalah kuatnya tata kelola kebijakan publik yang bersih, transparan, dan kredibel, serta pentingnya SWF mengedepankan pengelolaan bisnis profesional untuk menciptakan budaya organisasi yang sehat dan meningkatkan kepercayaan investor dalam dan luar negeri .
Pelajaran utama dari pengalaman Temasek dan 1MDB adalah bahwa keberhasilan SWF bergantung pada tata kelola yang transparan, kredibel, dan bebas intervensi, serta pengelolaan bisnis yang profesional untuk membangun kepercayaan investor.
Pelajaran dari Temasek menunjukkan bahwa minimnya intervensi politik adalah kunci utama menjaga profesionalisme dan transparansi pengelolaan aset negara. Meskipun Danantara tidak dapat berbentuk perusahaan swasta karena bertentangan dengan hukum Indonesia, independensi operasional tetap harus menjadi prioritas. Langkah konkretnya adalah memastikan penunjukan pimpinan berdasarkan pertimbangan bisnis tanpa melibatkan pejabat eksekutif pemerintahan, sehingga operasional bisnis dapat berjalan mandiri.
Independensi ini harus diimbangi dengan pengawasan yang kuat. Temasek tetap tunduk pada hukum perusahaan Singapura dan standar tata kelola OECD, serta diaudit ketat oleh Komite Audit.
Pengawasan terhadap Danantara saat ini masih belum jelas, terutama peran BPK dan BPKP yang kewenangannya dalam audit rutin masih terbatas. Dalam UU BUMN baru, peran audit BPK dan BPKP terhadap BUMN dan Danantara bahkan semakin dipersempit, karena hanya dapat melakukan audit jika diperintahkan DPR.
Tanpa sistem audit independen, risiko transparansi rendah dan penyalahgunaan dana menjadi lebih tinggi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu dilibatkan untuk memastikan pengelolaan investasi transparan dan tidak menimbulkan risiko sistemik bagi sektor keuangan.
Pemerintah perlu menetapkan batasan jumlah dividen yang dapat dialihkan ke Danantara, dengan mempertimbangkan kondisi APBN tahun berjalan. Jika APBN membutuhkan tambahan pendanaan, setoran dividen BUMN ke Danantara sebaiknya lebih kecil.
Pengelolaan Danantara juga perlu masuk dalam kerangka risiko pengelolaan APBN, karena akan mempengaruhi kesinambungan APBN dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Untuk mengurangi risiko efek saling berebut dana dan memastikan Danantara tidak membebani APBN, diperlukan strategi pendanaan yang beragam. Danantara harus memaksimalkan investasi swasta dan co-investment dengan mitra strategis, serta memanfaatkan instrumen keuangan alternatif.
Di sisi lain, sinkronisasi dengan strategi pembiayaan pemerintah menjadi krusial, terutama dalam koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Jika Danantara menerbitkan obligasi, penerbitannya harus dipastikan tidak bersaing langsung dengan surat utang negara (SUN), karena hal tersebut dapat meningkatkan yield obligasi pemerintah dan memperbesar beban bunga dalam APBN.
Danantara perlu dikelola dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang. Tanpa kalkulasi bisnis yang baik, Danantara berpotensi merugikan negara. Penting untuk membuat skala prioritas investasi dan peta risikonya, dengan kalkulasi bisnis yang detail dan transparan berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Pemerintah harus menghitung proyek-proyek strategis mana yang paling perlu diprioritaskan dan berpotensi membawa keuntungan optimal. Termasuk juga mengkalkulasi proyek yang cocok digarap dengan dana SWF.
Sebagai co-investor, Danantara juga harus mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik dalam memilih mitra investasi, dengan standar seleksi yang jelas, transparan, dan berbasis pada kinerja bisnis, bukan pada kedekatan politik. Keputusan berbasis selera politik atau kepentingan individu dalam pemerintahan hanya akan merugikan dalam jangka panjang.
Sampai saat ini, belum ada peta jalan investasi yang menunjukkan detail rencana Danantara selama 5-10 tahun ke depan. Padahal, kejelasan rencana investasi jangka panjang sangat penting untuk membangun kepercayaan investor dan pasar.
Danantara juga harus membuktikan kepada investor domestik dan internasional bahwa ia berkomitmen pada pengelolaan bisnis profesional dan mematuhi hukum perusahaan yang berlaku di Indonesia. Meskipun mendapat keistimewaan dari pemerintah, Danantara harus mampu menunjukkan bahwa ia adalah badan investasi yang profesional dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek. Keputusan investasi harus didasarkan pada analisis bisnis komprehensif yang melihat proyeksi return, risiko, dan dampak ekonomi secara keseluruhan, bukan sekadar ambisi proyek mercusuar.
Danantara saja tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan investasi. Yang lebih esensial adalah reformasi besar-besaran untuk menyehatkan iklim investasi dalam negeri yang selama ini menghambat akumulasi modal baik dari investor domestik maupun luar negeri. Dibutuhkan perbaikan tata kelola birokrasi, konsistensi kebijakan ekonomi, dan keseimbangan antara investasi negara dan swasta. Pemerintah harus terus memperbaiki birokrasi dengan mengefisienkan penyelenggaraan negara dan menutup celah korupsi.
Dalam hal ini, Danantara perlu diarahkan untuk memberi contoh standar pengelolaan investasi yang berkualitas, profesional, dan transparan, khususnya di setiap proyek investasi yang dilakukan. Terakhir, investasi Danantara juga perlu diarahkan untuk mendorong stabilitas makro di dalam negeri. Dengan demikian, proyek pengelolaan investasi Danantara mesti dikonsultasikan dan didesain mematuhi kebijakan makro ekonomi yang sehat.
Danantara perlu diarahkan untuk memberi contoh standar pengelolaan investasi yang berkualitas, profesional, dan transparan, khususnya di setiap proyek investasi yang dilakukan.
[***]