KALAU dulu ada pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Sekarang coba kita tuntut ilmu ke Papua saja, di sana ada Freeport Grasberg tempat kita belajar terkait IPO anak perusahaan Pertamina yang dalam waktu dekat berencana akan dilakukan pemerintah. Hal ini dalam rangka mengatasi masalah keuangan BUMN terbesar di tanah air ini.
Selama ini perdebatan tentang IPO hanya menyangkut IPO boleh atau tidak, IPO sah atau tidak. Bahkan ada analis yang mengatakan kalau tidak IPO maka tidak bisa dapat uang. Apa benar demikian? Apa benar urusan Pertamina itu kurang uang? Sementara sisi lain atau kemungkinan lain tidak pernah dibahas atau didiskusikan. Lagi pulang utang pemerintah di Pertamina Rp140 triliun belum dibayar.
Jika kita mau melebarkan sedikit diskusi kita bisa belajar dari Papua tentang jual beli saham Freeport Indonesia (PT FI) kepada pemerintah Indonesia. Ini pelajaran yang penting mengapa bagi korporasi besar pilihannya bukan hanya sekedar IPO atau tidak IPO.
Apalagi hanya menyangkut urusan tambah permodalan, tambah uang buat ekplorasi, buat ekploitasi, buat ekspansi investasi, pilihannya sangatlah banyak. Perusahaan-perusahan besar akan memilih skema yang paling kecil resikonya bagi masa depan perusahaan, dalam persaingan bisnis yang sangat keras.
Bagi perusahaan sekelas Freeport Indonesia, melakukan IPO di Indonesia adalah pilihan yang tidak mungkin mau dilakukan. Kalau IPO maka pembelinya adalah rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia ingin tahu berapa produksi emas Freeport, dan ingin dapat bagian emasnya Freeport yang belum pernah kita kalungi di leher. Atau bahkan emak-emak Indonesia belum pernah memakai gelang emas keluaran Freeport.
Sehingga Tito Sulistio, Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai, pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada publik untuk memiliki saham PT Freeport Indonesia (PTFI) melalui aksi korporasi penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO). Menurut pandangannya, dengan demikian harga saham Freeport bisa dinilai, dan rakyat Indonesia bisa mengontrolnya.
Namun Freeport tidak akan pernah mendengar usulan itu, dan karena pemerintah juga tidak mewajibkan perusahaan asing melalukan IPO dan melantai di Bursa Efek Indonesia. Dugaan saya bagi Freeport, IPO itu adalah hal yang beresiko, akan ada banyak pihak yang akan ikut campur dalam bisnis mereka baik kawan maupun lawan.
Bagaimana kalau yang datang itu yang membeli saham mereka adalah lawan, misalnya investor Cina, maka Freeport bisa ditekuk, dan sahamnya bisa digilas semua di Grasberg Papua.
Padahal Freeport internasional tengah kekurangan uang, harga sahamnya rontok, jatuh ke level paling rendah. Freeport bermasalah dengan utang yang sangat besar, akibat kegagalan investasi di minyak. Tapi Freeport tidak akan mau IPO di bursa efek Indonesia, negara dengan perubahan hukum yang sangat dinamis dan tidak pasti.
Lalu apa yang dilakukan Freeport. Di sini kita harus belajar. Freeport Indonesia “menendang Rio Tinto”. Dari tambang Grasberg Papua. Rio Tinto adalah pemegang Participating Interest (PI) di Grasberg. PI Rio Tinto itu adalah bagian produksi 40 % di atas produksi normal Grasberg.
Karena desakan politik dari dalam Indonesia agar Freeport melakukan divestasi, taat pada kontrak karya, dan berbagai kewajiban lainnya yang selama berpuluh-puluh tahun tidak terlaksana. Maka dipindahtangankanlah PI Rio Tinto kepada holding BUMN Tambang Indonesia yang dipimpin Inalum seharga Rp53 triliun. Dengan cara begini Freeport Indonesia bisa terbebas dari skema IPO, dan terbebas dari kewajiban jual saham murni.
Pelajaran dari Papua ini cukup berharga bagi para pengambil kebijakan Indonesia bahwa banyak jalan menuju Roma, banyak cara mendapatkan uang tanpa harus ada pihak lain, swasta maupun asing yang bisa cawe cawe di BUMM. Karena belum tentu swasta dan asing itu punya niat yang sama dengan BUMN yakni melayani rakyat, bangsa dan negara.
Jadi kalau IPO anak perusahaan pertamina itu untuk alasan cari uang, maka itu jelas keliru. IPO akan mengakibatkan anak perusahaan Pertamina akan jatuh dalam genggaman swasta. Apalagi sekarang Pertamina sudah banyak utang ke swasta. Maka swasta akan kontrol pertamina melalui dua hal yakni saham dan utang.
Tapi kalau kalau memang niatnya mau menjual pertamina, maka itu hal lain. Menteri BUMN harus jujur ke rakyat bahwa memang dia mau menjual Pertamina. Jujur itu hebat kata KPK.
Oleh Pengamat Ekonomi Salamudin Daeng