KedaiPena.Com – Pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menegaskan bahwa alasan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik soal hilangnya pendapatan dari bulan Januari -September 2017 sebesar Rp 19 triliun tidak dapat diterima.
Fahmi pun membandingkan antara penurunan laba Pertamina pada 2017 di era Massa Manik dengan peningkatan laba pada 2016 di era Pertamina pimpinan Dwi Soetjipto.
“Klaim Massa Manik soal penurunan laba 2017 lebih disebabkan tidak dinaikkannya harga BBM premium tidak beralasan. Pemerintah juga tidak menaikkan harga BBM premium sepanjang 2016, pada saat kepemimpian Dwi Soetjipto,” ujar Fahmy kepada wartawan, Kamis (30/11).
Bahkan, lanjut dia, dalam kondisi bisnis yang hampir serupa, Dwi Soetjipto justru mampu menaikkan laba sekitar USD 1,83 miliar pada semester pertama 2016 atau naik sebesar 221 persen dibanding periode yang sama pada 2015.
“Peningkatan laba Pertamina itu bukan berasal dari peningkatan pendapatan penjualan, tetapi lebih dipicu oleh efisiensi besar-besaran yang dilakukan oleh Pertamina, di bawah kepemimpinan Direktur Utama Dwi Soetjipto,” jelas dia.
Fahmy menjelaskan, Pertamina di era Massa Manik akan kembali gagal melakukan efisiensi karena adanya penggemukan direksi Pertamina yang tentunya membengkakan pengeluaran biaya operasional.
“Tidak dinaikkannya harga BBM premium, penugasan distribusi BBM di luar Jawa, Madura dan Bali (Jamali), dan kebijakan BBM Satu Harga akan selalu menjadi kambing hitam, manakala pendapatan Pertamina mengalami penurunan drastis di era Massa Manik,” ujar dia.
Penjelasan Fahmy, publik sempat terbelalak saat Vivo bisa menjual RON 89 seharga Rp 6.100 per liter, meskipun lalu naik menjadi Rp 6.300 per liter.
Sementara Pertamina menjual RON 88 lebih mahal, yakni sebesar Rp 6.450. “Lalu Pertamina berteriak bahwa penurunan pendapatan Pertamina disebabkan pemerintah tidak menaikkan harga premium. Bukankah teriakan itu hanya untuk mencari kambing hitam atas ketidakbecusan Massa Manik,” ucap dia.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menambahkan, pemerintah juga mesti mengvaluasi pembelian minyak mentah dan BBM via Integrated Supply Chain (ISC) apakah masih didominasi oleh trader atau NOC.
“Apakah publik tahu berapa indeks BPP (biaya pokok produksi) kilang Pertamina? Jangan selalu pakai tameng seolah-olah akan dicaplok asing tetapi faktor inefisiensi diabaikan terus yang diduga menjadi sumber pendapatan sampingan oknum-oknum,” ungkap dia.
Langkah lain yang semestinya dilakukan Massa Manik adalah memerintahkan ISC untuk menghentikan ‘joint blending’ dengan perusahaan bernama Travigura sebanyak satu juta barel per bulan untuk produk premium Ron 88.
“Ini bisa menghemat USD 2 dikalikan satu juta barel, atau USD 2 juta per bulan. Selain itu, ISC harus berhubungan langsung dengan NOC (national oil company) bukan dengan banyak trader.
Keterangan Yusri, memproduksi pertalite beroktan 90 saja sudah bisa dilakukan Pertamina di TBBM (Terminal Bahan Bakar Minyak)Â lalu mengapa Pertamina harus selalu melakukan aktifitas ‘joint blending’ dengan Travigura hanya untuk membuat premium Ron 88.
Laporan: Muhammad Hafidh