Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Sejak Nicke Widyawati menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) definitif Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Pertamina pada Tahun 2019 sepertinya rencana “berburu” penghargaan telah mulai dicanangkan dengan segala cara. Tidak saja melalui majalah Fortune dengan pemeringkatan 100 orang terbaik maupun sebagai wanita berpengaruh dunia. Melainkan juga dengan melakukan mobilisasi pemberitaan di media massa (cetak dan elektronik) dan para artis ternama yang lagi populer untuk mengangkat citra dirinya sebagai salah seorang wanita yang memegang kendali perusahaan minyak dan gas bumi (migas) terbesar di Indonesia. Hal ini tentu sah saja, namun benarkah penghargaan yang diterima itu segaris dengan fakta kinerjanya serta apa kegunaan dan manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara, khususnya para konsumen?
Paling tidak, fakta kinerja itu dapat diukur dari tiga (3) indikator saja, yaitu pertama soal penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi kepada kelompok sasaran yang selalu dikeluhkan pemerintah penuh dengan penyimpangan. Yang kedua, soal kinerja impor minyak dan BBM kaitannya dengan pembangunan kilang dalam negeri. Yang ketiga, soal profesionalisme jajaran direksi dan komisaris kaitannya dengan gugatan hukum atas kerjasama internasional perdagangan migas dan BBM.
Transformasi dan Profesionalisme Manajemen
Setiap tahun, Nicke Widyawati selalu langganan beroleh penghargaan dunia dari majalah Fortune 100 (Fortune Award) dengan perbaikan peringkat. Bahkan, Nicke Widyawati kembali ditempatkan sebagai Fortune’s Most Powerful Women 2024 diurutan ke-47 (tahun 2023 ke-67). Selain itu, Dirut Pertamina ini juga mendapatkan predikat Asia’s Best CEO di Asian Excellence Award 2024. Lalu, apakah penghargaan yang diterima oleh Nicke Widyawati ini ada kaitannya dengan kebijakan transformasi BUMN yang sedang dijalankan oleh Menteri BUMN, Erick Tohir atau memang sebuah proses ritual industri migas global saja? Sebab, secara faktual berbagai penghargaan tersebut tidak “berbekas” pada kebijakan transformasi yang terjadi dalam tubuh Pertamina apalagi atas prestasi kinerja yang ditorehkannya.
Sebagai perusahaan negara strategis yang mengurusi hajat hidup orang banyak disektor migas, maka Pertamina sesuai pasal 66 UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN yang berkewajiban menjalankan penugasan dalam hal pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO), khususnya BBM dan elpiji 3kg bersubsidi. Kebijakan subsidi inilah, yang kembali dibahas oleh Presiden Prabowo Subianto dalam rapat kabinet pada hari Rabu, 30 Oktober 2024 agar tepat sasaran. Artinya, Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 ini memperhatikan serius (concern) soal kelompok masyarakat yang berhak dalam menerima subsidi tersebut. Benarkah Nicke Widyawati sebagai Dirut yang profesional di tengah transformasi Pertamina yang direstrukturisasi organisasinya menjadi Holding dan Sub holding (SH) telah berkinerja baik dalam penugasan subsidi ke masyarakat penerima manfaat sehingga penghargaan dunia yang diterimanya itu sesuatu yang layak.
Fakta yang terjadi atas kinerja pengelolaan BBM dan elpiji 3kg subsidi di era Dirut Nicke Widyawati justru sangat sarat dengan penyimpangan atau ketidaktepatan sasaran. Padahal, proyek digitalisasi yang diterapkan pada 5.518 unit SPBU Pertamina bekerjasama dengan Telkom senilai Rp3,6 triliun telah berjalan. Namun, proyek ini telah terbukti gagal setidaknya oleh inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yang mendorong KPK untuk menelusuri dugaan korupsi dalam pengadaan dan manajemen layanan digitalisasi SPBU. Tidak hanya itu, yang mutakhir justru Ipda Rudy Soik seorang anggota polisi yang mengungkap kasus mafia solar subsidi (BBM illegal) di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) malah diberhentikan secara tidak hormat. Masih adanya praktek mafia BBM bersubsidi ini bukti dari digitalisasi SPBU Pertamina tidak ada hasil dan bukti nyata ketepatan sasaran penerima manfaatnya.
Selain itu, impor migas dan BBM berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilainya sejak tahun 2019-2023 juga mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun 2019, nilainya mencapai US$21.885,3 juta atau setara dengan Rp312,96 triliun (kurs US$1= Rp14.300) dan pada tahun 2022 telah mencapai US$40.416,4 juta yang nilainya setara Rp636,558 triliun (kurs US$1=Rp15.750). Bahkan, nilai impor migas dan BBM sampai bulan September 2024 telah mencapai angka US$26.742 juta atau senilai Rp421,186 triliun suatu angka yang tidak mengindahkan keinginan Presiden Joko Widodo saat menjabat agar mengurangi impor. Sebagaimana halnya dengan pembangunan kilang atau proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) saat berakhirnya masa tugas Presiden Joko Widodo tidak satupun yang selesai dan diresmikan, bukankah ini bukti kegagalan Dirut Pertamina Nicke Widyawati?
Kebijakan importasi migas dan BBM malah mengakibatkan kenaikan jumlah US dollar yang dibutuhkan dari setiap tambahan volumenya serta menggerus devisa negara karena lebih banyak Rupiah yang harus disediakan. Hasil itu, tidak sebanding dengan kegiatan ekspor migas yang pada tahun 2019 tercatat hanya senilai US$11.789,3 juta atau setara dengan Rp168,59 triliun, sedangkan pada tahun 2022 senilai US$15.998,2 juta atau setara dengan Rp251,17 triliun. Angka ini menunjukkan adanya defisit migas dan transaksi berjalan yang lebar menguras keuangan negara serta mengorbankan alokasi dananya untuk kepentingan program pembangunan sektor lainnya.
Yang terburuk kinerja Dirut Pertamina adalah terkait kasus kerjasama strategis dan sengketa dagang (utang piutang) antara anak usaha PT. Pertamina Patra Niaga (sub holding Pertamina), yaitu Pertamina International Marketing and Distribution pte ltd (PIMD) dengan Phoenix Petroleum Corporation, PIMD dan Udena Corporation, Filipina. Meskipun pada tanggal 23 Nopember 2023 di Pengadilan Arbitrase Internasional Singapore (Singapore International Arbitration Centre/SIAC) yang memakan waktu 19 bulan telah memenangkan pihak Pertamina dengan memutuskan pihak Udena Corp harus membayar utang dagangnya kepada PIMD senilai US$ 142 juta atau sekitar Rp2,2Triliun (sampai bulan September 2024 eksekusi belum dilaksanakan). Dan, Pertamina berpotensi mengalami kerugian ekonomi dan hukum lainnya apabila pihak Phoenix dan Udena tidak mengakui putusan arbitrase terkait yurisdiksi hukum di dalam negeri Filipina.
Setelah itu, muncul lagi kasus tuntutan Gunvor Singapore PTE LTD atas terkendalanya pengiriman kargo gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang dibeli dari PGN ke The London Court of International Arbitration (LCIA). Pihak PGN sebelumnya berdalih telah terjadi force majeur atas pengiriman produk LNG tersebut ke pihak Gunvor, sebuah perusahaan yang berlokasi di Singapura. Sengketa dagang akibat kasus wan prestasi ini berpotensi merugikan keuangan PGN maupun Pertamina lebih dari Rp10 triliun, bahkan bisa mencapai Rp18 triliun atas ketentuan provisi yang harus dibayarkan.
Berbagai masalah kinerja lifting migas, meningkatnya impor migas dan produk BBM, pembanguna kilang dan RDMP yang molor, transisi energi tanpa kemajuan dan kasus hukum yang dihadapi oleh BUMN Pertamina, khususnya terjadi pada Sub Holding berbanding terbalik dengan seabrek penghargaan yang diterima oleh Nicke Widyawati sebagai Direktur Utamanya. Jika, semua penghargaan (awards) yang diterima oleh Nicke Widyawati bernilai ekonomi tentu akan sangat menguntungkan Pertamina sebagai korporasi terbesar Indonesia dalam industri minyak dan gas bumi (migas), jangan sampai justru sebaliknya. Apalagi profesionalisme Nicke Widyawati dipertanyakan publik atas berbagai kasus kerjasama dagang dengan pihak lain yang menimbulkan perkara hukum tersebut.
Apakah begini kinerja yang dihasilkan oleh kebijakan transformasi BUMN (struktur Holding-Sub holding) diera Menteri BUMN Erick Tohir serta buruknya wujud profesionalisme dari jajaran direksi dan komisaris Pertamina sebelum Komisaris Utama (Komut) dijabat oleh, Simon Aloysius Mantiri per Juni 2024. Lalu, kelayakan dan kepantasan apakah yang harus diberikan berbagai penghargaan (awards) kepada Nicke Widyawati sementara kinerja BUMN terbaik digapai oleh PT. Bank Rakyat Indonesia yangmana pada periode September 2024 membukukan laba sejumlah Rp45,06 triliun (periode 2023 Rp60,4 triliun) dengan status sama dalam penugasan dari pemerintah.
[***]