RANCANGAN Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sedang digodok di lembaga legislatif. Tanpa bermaksud menilai isi RUU tersebut, tulisan ini ingin menggambarkan hal-hal apakah yang menurut saya, sedang dihadapi dan jadi tantangan masyarakat adat.
Memahami hal ini akan sangat membantu dalam merumuskan bentuk aturan (apakah itu UU atau bentuk lainnya) beserta isinya agar mampu “tepat-respon” terhadap tantangan yang dialami masyarakat adat di Indonesia secara umum.
Contoh yang saya ambil terkait isu ini adalah Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Alasannya sederhana, namun mendasar. Saya lahir sebagai Dayak Ngaju. Ibu saya murni berdarah Dayak Ngaju. Ayah saya (sekarang almarhum) berasal dari Kapuas, dan masuk dalam kelompok suku Dayak Ngaju. Karena itu, membicarakan Dayak di Kalimantan Tengah akan lebih fasih bagiku yang terlahir dari suku dan budaya ini, saat menghubungkannya dengan “dukungan” yang diperlukan dari negara.
Seperti sudah diketahui, Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, seperti halnya suku-suku lain di Indonesia, ada dan sudah lama bermukim turun temurun. Turun temurun di sini menunjukkan sesuatu yang sudah lama ada. Terkait kapan waktu migrasi Dayak ke Kalimantan, ada catatan yang menunjukkan migrasi awal sudah terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun Sebelum Masehi, saat benua Asia masih menyatu dengan Pulau Kalimantan.
Menurut J.U. Lontaan (1974), Dayak sendiri terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub-suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Salah satu dari suku besar itu adalah Dayak Ngaju. Saya, seperti sudah saya jelaskan di atas, adalah bagian suku Dayak Ngaju ini.
Menjadi Dayak Ngaju, adalah given atau terberikan. By born. Sejak lahir, dalam diri saya mengalir darah Dayak. Sang Ilahi-lah yang menetapkan saya menjadi Dayak Ngaju. Saya tidak memilih atau tidak bisa memilih menjadi Dayak. Saya Dayak karena saya lahir sebagai Dayak. Begitu juga halnya saat seseorang menjadi orang Batak, orang Minang, orang Baduy dan suku-suku lain di Indonesia — yang menurut catatan berjumlah lebih dari 700 suku.
Apakah maknanya di sini? Karena hal itu sifatnya given, nature, terberi, maka secara prinsip tidak bisa seseorang ditetapkan menjadi suatu suku dengan cara “ditetapkan atau dilegalkan” melalui surat keputusan, peraturan atau apapun itu. Demikian pula sebaliknya, tidak bisa kemudian seseorang dibatalkan atau dihapus kesukuannya oleh pranata manusia. Suku itu ibarat gen yang menyertai diri manusia, yang ada sejak ia tercipta. Dan itu adalah hak prerogatif Sang Ilahi.
Maka, menurut saya, tidaklah tepat, jika ada aturan yang dilahirkan untuk menetapkan suatu masyarakat menjadi suku, masyarakat adat atau istilah-istilah yang setara. Persoalan subyek bukan lagi sesuatu yang bisa diutak-atik karena sudah terberi oleh Yang Kuasa.
Lantas, apakah yang kemudian tepat dan perlu untuk diwadahi oleh kebijakan dan aturan negara? Karena saya Dayak Ngaju, maka ada seperangkat adat, budaya, nilai dan norma yang menyertai setiap gerak langkah saya sebagai Dayak Ngaju. Saat saya menyinggung kata adat, di sini tercakup berbagai hal menyangkut nilai, kepercayaan, kearifan beserta praktik-praktiknya. Semua ini sifatnya dinamis dan bisa berkembang sesuai perkembangan zaman.
Dalam pengalaman dan pemahaman saya sebagai uluh Dayak Ngaju, saya bisa melihat orang Dayak Ngaju punya kepercayaan tersendiri terhadap Yang Kuasa. Ia juga punya mitologi tersendiri. Dayak Ngaju juga memiliki kearifan tradisional beserta praktik-praktiknya. Pendek kata, orang Dayak Ngaju dan Dayak lainnya memiliki konektivitas erat dengan Yang Kuasa, sesama manusia, serta alam semesta seisinya.
Terkait spiritualitas, sama seperti suku Dayak lain yang menempati Kalimantan, Dayak Ngaju dikenal memiliki keterhubungan dengan Yang Kuasa dalam bentuk tersendiri, juga dengan roh leluhur dan spirit yang lain. Agama asli masyarakat Dayak Ngaju adalah Kaharingan.
Meski saya menganut Islam dari lahir, karena ibu saya menjadi Islam saat menikah dengan ayah (almarhum), saya cukup beruntung bisa punya pengetahuan dan pengalaman sebagai orang kita atau uluh itah, yakni Dayak Ngaju. Ini tentunya juga menyangkut spiritualitas dan hal-hal lain yang ada dalam Dayak Ngaju.
Pengetahuan dan pengalaman ini diturunkan oleh, utamanya, keluarga pihak ibu. Saat kecil, interaksi yang begitu lekat di benakku adalah dengan buyutku. Ia adalah tambi buyut atau nenek buyut, yakni nenek dari ibuku. Kami akrab memanggilnya sebagai tambi atau nenek, meski seharusnya lebih tepat dipanggil tambi buyut. Tambi sering datang dan menginap di rumah kami di Palangkaraya.
Dari tambi inilah aku sering mendengar cerita tentang spiritualitas Dayak Ngaju dan hal-hal lainnya. Tuturnya masih kerap kuingat hingga kini. Semua ini biasanya dilakukan menjelang tidur, baik saat tidur siang atau malam. Disampaikannya seperti gaya mendongeng, sehingga sering kali ketika cerita itu belum habis, aku dan saudara-saudaraku sudah tertidur.
Tambi bercerita kalau orang Dayak Ngaju, punya agama Kaharingan. “Jika kamu memanggil Tuhan dengan sebutan Allah, maka dalam Kaharingan disebut sebagai Ranying,” demikian kata Tambi. Terkadang Tambi juga menyebut kata-kata “Ranying Hatalla Langit”, atau “Yang Menguasai Langit”. Juga ada kekuatan yang menguasai alam bawah atau “Jata Balawang Bulau”. “Seperti halnya kamu sholat, maka dalam Kaharingan juga ada sembahyangnya, namanya Basarah,” ujar tambi. Cerita tambi ini selalu melekat di benakku.
“Apa tambi tidak mau masuk Islam?” tanyaku suatu ketika. Tambi menjawab ia sudah punya agama: Kaharingan. Saya menjawabnya: tapi yang agamakan hanya Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Saat itu adalah era rezim yang masih mengakui hanya 5 agama dan yang lain dipandang sebagai kepercayaan. Tambi lagi-lagi mengatakan Kaharingan itu agama. Jawaban yang sama juga pernah saya temui dari Bue Apang (kakek). Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar. Dan tentu saja pikiran saya masih jauh dari paham mengenai politik pemerintah tentang agama.
Tambi juga kadang berkisah tentang mahluk-mahluk kasat mata yang ada di bumi ini. Ada yang namanya taloh, kambe, jin. Ada yang baik, ada pula yang bisa mengganggu manusia. Saya terkadang takut mendengar cerita tentang mahluk-mahluk ini. Saat itu, maka tambi akan mengganti tuturnya dengan berbagai dongeng tentang Palui, tokoh fiksi khas Dayak Ngaju, dengan tingkah lakunya yang kocak dan polos. Palui ini agak mirip Kabayan bagi orang Sunda.
Tambi juga banyak bercerita tentang bagaimana orang Dayak Ngaju punya himba atau rimba raya. Kata tambi, di himba banyak pohon. Saking banyak dan rapatnya pepohonan, terkadang di satu tempat, matahari terlihat samar-samar di siang hari, tertutupi oleh kanopi hutan. Masuk himba juga tidak boleh sembarangan. Ada penunggu himba. Tidak boleh asal mengambil benda atau apapun dari himba. Harus ada tatacara tersendiri.
Sejak kecil, himba yang perkasa itu bagiku sendiri adalah paradoks. Ia kokoh, rapat dan penuh dengan mahluk penunggu. Tapi sekaligus, ia ramah bagi kami orang-orang Dayak Ngaju. Masa kecilku adalah masa di mana saat musim buah, bue apang sering membawa sekarung penuh duhian (durian), tepaken (buah endemik mirip durian), kasturi, manggis dan berbagai hasil hutan lain. Himba yang perkasa dan angker itu, ternyata menyediakan pula buah-buahan eksotis bagi kami.
Juga tambi, serta ibu dan saudara-saudaranya kadang berkisah tentang praktek ladang berpindah orang Dayak. Bahwa berladang dilakukan dengan menggunakan tugal. Bahwa saat mulai bertanam mesti menunggu tanda dari antang (semacam burung tingang) dan masih banyak lagi. Saat padi selesai dipanen, maka bisa diganti sayur dan sebagainya. Dan masa kecilku memang begitu termanjakan oleh berbagai jenis pangan lokal yang sehat tanpa pestisida, dari hutan dan ladang Dayak Ngaju.
Saat dewasa dan menggeluti isu sosial, saya memahami apa sebenarnya yang musti dilakukan negara untuk orang Dayak Ngaju serta masyarakat adat lainnya. Soal subyek sudah given. Faktanya, ini tidak bisa diada-adakan. Tidak juga ia menjadi hilang karena tidak disahkan ataun dilegalkan. Menjadi Dayak Ngaju adalah terberi sejak lahir.
Tapi bagaimana dengan hak-hak yang melekat dengan suku Dayak Ngaju? Misalnya terkait spiritualitas dan konektivitas orang Dayak dengan himba, dengan tradisi bertanamnya. Saya lega bahwa sekarang Kaharingan menjadi setara dengan agama lain. Tapi bagaimana halnya dengan gerusan investasi yang semakin lama terus mengoyak tanah dan himba Dayak Ngaju dan juga merusak konektivitas berbagai masyarakat adat dengan lingkungannya?
Hal-hal inilah yang menurut saya perlu diakui dan dilindungi, yakni hak-hak yang melekat pada orang Dayak Ngaju dan masyarakat adat lainnya. Jadi aturan yang diperlukan sekarang misalnya, adalah aturan yang mewadahi agar himba dan tanah Dayak tetap ada bagi orang Dayak dan tidak diambil alih oleh kepentingan investasi. Juga aturan yang memberikan pengakuan dan perlindungan hak orang Dayak untuk menjalankan berbagai kearifan tradisionalnya dalam mengelola dan menjaga hutannya. Demikian pula terkait hak-hak lainnya seperti hak menganut agama sendiri dan mengembangkan kebudayaan suku.
Jadi kesimpulannya, jangan salah kaprah. Bagi masyarakat adat yang diperlukan bukan pengakuan subyek sebagai masyarakat adat, suku atau sejenisnya. Ini sudah tidak bisa diganggu gugat. Yang dibutuhkan dari negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak yang melekat dan menyertai masyarakat adat itu. Bukan yang lain.
Ditulis Oleh: Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia Swary Utami Dewi