BEBERAPA waktu lalu, menjawab pertanyaan wartawan, saya menyatakan berani bertaruh bahwa kasus-kasus penyanderaan masih akan terus berulang. Mengapa demikian? Pengelolaan keamanan laut baik domestik maupun kawasan, masih menghadapi sejumlah persoalan dan tantangan klasik. Sayangnya, kita masih harus mempertanyakan seberapa serius para pemangku kepentingan mengatasinya.
Di sisi domestik, pengelolaan keamanan laut kita belum menunjukkan pembenahan yang signifikan meski kasus telah berulangkali terjadi, setidaknya setahun terakhir. Meski pemerintah telah membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai penjuru, namun pada prakteknya lembaga ini masih tumpul.
Selain karena payung hukum yang belum cukup kuat, keterbatasan sarana prasarana pendukung menyebabkan lembaga ini masih harus bergantung pada TNI AL, yang memegang otoritas penuh sebelum hadirnya Bakamla. Ego sektoral menyebabkan komunikasi mengalami gangguan yang berdampak pada koordinasi di lapangan.
Persoalan klasik lain dalam penegakan keamanan laut kawasan ini adalah praktik buruk yang berkorelasi dengan praktik kolusi dan korupsi seperti suap dan pungutan liar, mengakibatkan terjadinya perlakuan tidak setara dalam upaya perlindungan terhadap kapal-kapal yang berlayar di kawasan rawan dan para awak di dalamnya.
Kurangnya kedisiplinan pada personil pemangku kepentingan di lapangan dan kepatuhan para operator armada laut menyebabkan awareness berkurang dan kemampuan penegakan keamanan menurun secara signifikan. Informasi terkait situasi dan kondisi keamanan perairan lintasan acap kali terabaikan karena pertimbangan-pertimbangan pragmatis.
Sementara itu di level kebijakan, sinergi pengamanan laut kawasan berupa patroli bersama yang intensif dan terkoordinasi baik, tampaknya baru sebatas gagasan yang belum konkret. Ego kedaulatan dan kendala regulasi masing-masing negara, menjadi alasan klasik.
Ketika itu semua masih menjadi persoalan, kasus penyanderaan terus berulang. Uniknya lagi, pelakunya juga terafiliasi ke kelompok yang itu-itu saja. Bayangkan saja, tiga negara sekaligus gagap menghadapi kelompok Abu Sayyaf.
Apakah kelompok ini sedemikian hebatnya? Tidak. Mereka beraksi dengan memanfaatkan kelemahan ketiga negara ini yang masih berkutat dengan problem konyolnya.
Negara-negara ini tidak sepenuhnya sadar, mengatasi gangguan keamanan di laut tak cukup hanya dengan tindakan reaktif maupun sosialisasi informasi imbauan jalur aman tanpa penegakan yang aktif, serius dan berkelanjutan. Keamanan informasi pelayaran perlu dijaga, oknum-oknum yang sengaja atau tidak, telah lalai dan berkolaborasi dengan penjahat, harus ditindak tegas.
Hilangkan ego, hadapi musuh bersama. Kedaulatan dan kewibawaan diuji. Bukan cuma Indonesia, tapi juga Malaysia dan Filipina. Karena faktanya, aksi seringkali terjadi di perairan tetangga. Solusinya tak boleh hanya dengan bayar tebusan.
Oleh Khairul Fahmi, Institute For Security And Strategic Studies (ISSES)