KedaiPena.Com – Persekusi yang dialami Neno Warisman dalam deklarasi gerakan #2019GantiPresiden Pekanbaru menunjukkan ketidakmampuan aparat kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam menjalankan fungsi keamanan.
Pelarangan gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah daerah kemudian memunculkan anggapan aparat penegak hukum berlaku tidak netral. Anggapan itu lahir karena kegiatan tersebut kerap dilarang dengan beragam alasan. Umumnya demi menjaga keamanan dan ketertiban. Sementara gerakan bertajuk #2019TetapJokowi dan sejenisnya lancar-lancar saja.
Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar menyingkapi persekusi #2019GantiPresiden sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berpendapat seseorang. Padahal kebebasan berpendapat telah diatur dalam UUD 19945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Yang terjadi sebaliknya, negara malah menghalang-halangi hak seseorang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Menurut Abdul Fickar, tindakan memulangkan Neno yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, telah melawan hak-hak berdemokrasi.
“Soal (aparat penegakan hukum) memulangkan Neno, ini indikator ketidakmampuan menjalankan fungsinya sebagai penjaga keamanan dalam negeri. Padahal kebebasan orang untuk hadir di satu kota itu hak asasi manusia,†ujar Abdul Fickar kepada KedaiPena.Com, Kamis (30/8/2018).
Lanjut Abdul Fickar, kepolisian dan BIN seharusnya dapat menyerahkan masalah ini kepada pemegang otoritas yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mereka nantinya yang memutuskan untuk menghentikan kegiatan tersebut atau tidak. Toh, selama ini Bawaslu dan KPU menilai gerakan #2019GantiPresiden bukan merupakan kampanye. Artinya kegiatan tersebut konstitusional.
“Jika mau dipersoalkan secara hukum itu konten pernyataan atau pidatonya. Tapi pernyataan #2019GantiPresiden tidak ada unsur melawan hukum. Itu hanya pernyataan politik,†demikian Abdul Fickar.
Laporan: Muhammad Hafidh