TULISAN ini merupakan tulisan yang merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Persekusi Digital dan Persekusi Digital 2. Bagi mereka yang belum membaca ke dua tulisan tersebut Penulis menyarankan agar membaca keduanya terlebih dahulu sebelum membaca tulisan ini yakni Persekusi Digital dan Persekusi Digital 2 (Lanjutan).
Penulis adalah pengagum dari tokoh fiksi Sherlock Holmes, karya Sir Arthur Conan Doyle. Sherlock mengatakan seperti ini,” I am not the law, but I represent justice so far as my feeble powers go.” (Saya bukan hukum, tapi saya mewakili keadilan sejauh kekuatan lemah saya pergi).
Ini menunjukan bahwa sebagaimana baiknya hasil deduksi yang diberikan oleh seorang Sherlock Holmes pada suatu kasus, hukum tetap harus dijalankan sebagaimana mestinya. Tapi penekanan bahwa dia mewakili keadilan ditujukan untuk memberikan rasa ketidakragu-raguan bagi para penegak hukum untuk menghukum seseorang.
Pada berbagai kasus pidana, seperti yang penulis sampaikan di tulisan sebelumnya, hukuman dapat diberikan jika tidak ada keraguan lagi di dalam kasus tersebut. Dalam bahasa Inggrisnya, ”Beyond the unreasonable doubt”.
Dalam deduksinya pendekatan yang dipakai Sherlock Holmes adalah sebagai berikut, “How often have I said to you that when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth?” (Seberapa sering saya katakan kepada Anda bahwa ketika Anda telah menghilangkan yang mustahil, apa pun yang tersisa, betapapun mustahil, adalah pasti kebenarannya?).
Pendekatan ini digunakan karena berbagai kasus yang dihadapinya memang banyak di luar basis rasionalitas yang ada. Walau pun pada akhirnya Sherlock Holmes dapat membongkar semua kasus yang ditanganinya.
Di dalam berbagai kasus yang ditangani oleh Sherlock Holmes, tidak ada satu pun Sherlock pernah melakukan pembangunan opini secara publik, untuk membuka suatu tabir kebenaran. Sherlock sangatlah jeli dalam mengidentifikasi jenis suatu motif kejahatan dan mengkorelasikan dengan bukti-bukti yang dapat dikumpulkan ya.
Sehingga kemudian muncullah suatu hasil deduksi yang tidak terbantahkan.
Jika suatu analisa dalam konteks kejahatan masih meragukan apalagi terbantahkan maka analisa itu pasti jauh dari kebenaran.
Namun pihak yang melakukan analisa seperti ini ada yang berusaha membangun sebuah persepsi kebenaran dengan membangun opini publik. Bagi orang yang tertuduh dan tidak diuntungkan oleh analisa seperti ini tentu tidak mendapatkan keadilan sama sekali.
Di sinilah suatu tindakan persekusi terjadi. Di era digital dengan bantuan media sosial dan cepatnya arus informasi sangatlah mudah untuk membangun sebuah opini, persekusi sangatlah mudah dilakukan secara digital.
Dapat dipastikan, seorang Sherlock Holmes zaman now akan menolak melakukan persekusi digital seperti di atas.
Analisa Suatu Kasus Tuduhan Pemerkosaan
Alkisah, ada seseorang karyawati kontrak bekerja di suatu lembaga pemerintah, bernama RA. RA merupakan bawahan dan bekerja sebagai staf administrasi dari atasannya bernama SAB.
RA merupakan anak tunggal berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR selama 25 tahun terakhir ini. RA merasa senang sekali saat mendapat pekerjaan di lembaga ini. Di mana penghasilannya cukup baik. Sehingga RA pun dapat membantu kedua orang tuanya untuk kehidupan keluarga mereka.
SAB adalah seorang pejabat yang memiliki integritas baik, tegas dan sangat disiplin. Tegas dan disiplin ini acapkali dikategorikan sebagai pemarah. Sehingga banyak sekali pihak yang tidak bisa mengikuti gaya SAB ini merasa tidak suka. Padahal SAB berlaku seperti itu hanya dalam urusan pekerjaan dan cara itu dilakukan untuk kebaikan lembaga pemerintah tersebut.
SAB dikenal cukup senang melakukan pembinaan kepada para anak buahnya. Selain dari pada itu SAB mempunyai juga banyak anak didik. SAB selalu percaya bahwa pendidikan adalah cara untuk menaikan derajat seseorang.
Sejak RA bekerja untuk SAB, RA pun dibina agar menjadi seorang karyawati yang baik dan profesional. Hubungan keduanya baik, sampai orang tua RA menitipkan kepada SAB agar mendidik RA dengan baik. Tersentuh dengan harapan orang tua RA, SAB pun menyarankan untuk sekolah lagi agar RA dapat meraih gelar S2 nya. SAB membantu biaya kuliah S2 RA ini.
Sampai pada akhirnya di suatu saat RA membuat tuduhan secara publik bahwa atasannya yang bernama SAB telah melakukan Pemerkosaan terhadap dirinya sebanyak 4 kali. Berbagai bukti sepihak pun dimunculkan untuk mendukung tuduhan tersebut. Namun secara basis deduksi ala Sherlock Holmes bukti yang dimunculkan masih jauh dari meyakinkan.
Kronologi
Ada pun secara kronologis penulis kemudian berusaha menetapkan masalah tuduhan RA terhadap SAB tersebut.
Munculnya permasalahan SAB dengan RA ini dapat dijadikan sebagai contoh persekusi yang mengarah kepada character assassination (pembunuhan karakter) dengan berita dan tuduhan yang bersifat bombastis dengan mengesampingkan azas praduga tidak bersalah.
RA, sang pemberita bukannya melapor kepada pihak kepolisian atau Komnas Perempuan, tetapi langsung mempublikasikan dalam berbagai cara ke media sosial sehingga terjadilah ‘trial by press’. Setelah berita-berita yang menyudutkan SAB dan menghancurkan nama baik dan reputasi beliau untuk bangsa dan negara ini selama 40 tahun, serta nama baik kehormatan keluarga merebak di internal tempat bekerja dan media sosial.
RA dengan arahan dosen AA mengadakan konferensi pers yang nyata-nyata menyerang secara subyektif SAB, baik sebagai pribadi maupun keluarga beliau dengan penayangan foto putri beliau yang tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan antara SAB dan RA.
SAB secara jantan telah mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden, atasan langsung SAB. Hal ini bersamaan dengan penyelenggaraan konferensi pers beliau, dengan alasan utama untuk berkonsentrasi penyelesaian masalah hukum. Alhamdulillah, respon Presiden sangat cepat yang menunjukkan kearifan Beliau, Keppres pun keluar yang mengatakan pemberhentian dengan hormat SAB dari jabatannya dan disertai ucapan terima kasih atas pengabdian dan jasa-jasa SAB selama menjabat di Institusi tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan untuk keseimbangan persepsi media sosial terhadap permasalahan yang selama ini cenderung memberikan porsi yang tidak seimbang sehingga menimbulkan persepsi yang jauh dari konteks yang relevan, sebagai berikut:
1. SAB mengenal keluarga RA cukup dekat dengan adanya kunjungan ke rumah, ke rumah sakit saat ibunda RA dirawat pasca operasi, dan juga saat berbuka puasa bersama di bulan Ramadhan. SAB yang memiliki ibu kandung, adik kandung, istri, dan anak kandung seorang wanita, tidak pernah terbersit sedikit pun niat untuk berbuat kasar dan pemaksaan terhadap seorang wanita.
2. RA selalu beralibi bahwa terjadi penyuapan terhadap dirinya oleh SAB untuk melegitimasi dan melanggengkan apa yang disebut “tindakan” SAB. Perlu diketahui bahwa pemberian tambahan selisih honor bulanan antara yang dijanjikan sesuai aturan (sarjana S1 + dua tahun pengalaman kerja) dengan yang dibayarkan sebesar 1,5 juta rupiah per bulan (9 juta – 7,5 juta) diberikan oleh SAB adalah sebagai bentuk bantuan kelancaran tugas sehari-hari RA. Selanjutnya, bantuan untuk biaya pendaftaran dan biaya kuliah S2 setiap semester (ada tiga semester) sebesar 1/3 dari total biaya adalah bentuk kepedulian SAB kepada staf untuk perkembangan karir dan juga memenuhi amanat orang tua RA yang menitipkan RA untuk dibimbing dan dibina. Adalah naif bila disebutkan ini adalah bagian dari upaya penyuapan.
3. Walau kinerja sebagai sekretaris berjalan normal, namun perilaku dan interaksi sesama rekan kerja tidak terlalu baik, terutama setelah RA ikut program S2 (karena tidak mampu mengelola waktu). Pernyataan RA bahwa SAB selalu memaksakan untuk perjalanan dinas keluar kota berdua RA adalah tidak benar. Bukti perjanalan dinas dapat dengan mudah menepis tuduhan tersebut.
4. Sejak awal SAB mengetahui bahwa RA telah memiliki pasangan tetap, yaitu TS, sejak sebelum masuk bekerja, walau hubungan tersebut patut diduga tidak direstui kedua orang tua RA. SAB tidak pernah sekalipun melarang atau mencegah hubungan keduanya. Walau jarang bertemu, TS cenderung hormat kepada SAB. SAB juga paham bahwa setelah beberapa saat bekerja di Institusi itu, RA memiliki kedekatan khusus dengan KP, rekan kerja yang sudah berkeluarga. RA beralibi bahwa kedekatan itu sekedar teman untuk berdiskusi dan membantu tugas-tugas kuliah S2 RA.
Fakta menunjukkan tidak demikian, semakin hari semakin terlihat intensitas hubungan mereka semakin dekat. Ada beberapa kejadian di mana SAB dan staff lain melihat, mendengar, dan mengetahui hubungan dekat tersebut, SAB telah memberikan peringatan lebih dari sekali kepada KP (karena sudah beristeri) untuk tidak melanjutkan hubungan tersebut, yang walaupun KP telah berjanji, namun kenyataannya hubungan keduanya semakin dekat.
5. Suatu saat, SAB mendapat berita bahwa RA dirawat karena adanya upaya percobaan bunuh diri. Menurut versi yang diceritakan oleh KP, RA mengirim percakapan Whatsapp (WA) kepada KP (semacam pemberitahuan) bahwa akan bunuh diri dengan foto obat-obatan di apartemen RA (tempat yang sangat jauh dari lokasi kampus dan Kantor RA). KP lantas bergegas ke apartemen RA dari kediaman yang berjarak sangat jauh. Setiba di apartemen RA, KP langsung menggedor pintu unit kamar RA (dari mana KP dapat akses masuk/naik ke lantai tersebut) dan setelah gagal kemudian minta bantuan satpam, namun tetap gagal, walau akhirnya pintu dibukakan oleh calon pelaku bunuh diri itu sendiri, yaitu RA.
6. Pasca percobaan bunuh diri RA, SAB dari bandara langsung menuju ke rumah orang tua RA untuk menengok RA di depan bapak, ibu, nenek, RA, dua orang keluarga RA, bahkan ada TS (pasangan tetap RA). Setelah mendengar cerita bapak RA soal upaya percobaan bunuh diri, SAB langsung menasihati RA dan meminta untuk istirahat total. Dalam perjalanan menuju ke mobil, TS yang mengantar ke mobil meminta maaf atas kejadian upaya percobaan bunuh diri tersebut dan meminta tolong dengan menyerahkan draft Bab I Tesis S2 RA untuk SAB reviu. Ini jelas mematahkan alibi bahwa bunuh diri ini disebabkan oleh SAB.
7. Kemudian, SAB yang sedang tugas di Semarang mendapat kabar bahwa telah terjadi keributan yang menjurus perkelahian fisik di Kantor saya lembaga Pemerintah itu. TS (pasangan tetap RA) dengan KP (pasangan baru RA), yang disertai seseorang patut diduga preman, yang dapat dilerai oleh koordinator satpam kantor. Menurut penjelasan koordinator satpam yang bersangkutan, TS marah karena TS mengetahui KP sering mengunjungi apartemen RA (di mana pihak manajemen apartemen mengetahui kalau penyewa apartemen adalah TS dan RA dalam komunikasi tertulis selalu disebut sebagai Ibu TS).
Dan juga TS mengetahui bahwa KP pernah membooking kamar di Hermitage untuk RA pada saat dinas yang tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan tugas RA. Atas kejadian ini KP diskors, namun kemudian memilih mengundurkan diri dan RA pun diskors oleh pimpinan di kantor. Jadi, tidak benar kalau RA diskors karena permasalahan dengan SAB dan tidak benar RA dipecat sebagaimana diumumkan di publik. Ini adalah suatu kebohongan publik lagi.
8. Kejadian puncaknya, SAB mampir di kantor dalam perjalanan menuju bandara untuk general checkup tahunan di Singapura, untuk mengambil paspor yang sedang dalam proses pengurusan visa ke Jepang di Biro Perjalanan. Sehari sebelumnya RA sudah diberi tugas tersebut. Namun, saat ditanyakan perihal tersebut, RA dengan enteng dan tidak etis menjawab, “Kenapa tanya soal paspor kepada Saya, Saya kan bukan sekretaris Bapak”.
SAB marah besar kepada RA (untuk pertama kali), namun dapat mengendalikan emosi dengan segera ke ruang kerja. Kejadian inilah yang kemudian menjadi awal dimulainya RA melakukan gerakan di media sosial menuduh SAB dengan berbagai macam hal. Sangat terkesan RA ingin melakukan pembalasan terhadap SAB karena dimarahi, dan lupa akan kebaikan SAB selama ini.
Kesimpulan sederhana yang dapat diambil untuk menjadi deduksi seorang Sherlock Holmes, dengan menyimak dan menganalisis fakta-fakta di atas, maka patut diduga, permasalahan yang dituduhkan RA kepada SAB adalah upaya pengalihan isu masalah pribadi antara RA, TS, dan KP yang berujung kepada labilnya jiwa RA yang kemudian juga diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang tidak mengetahui persoalan sebenarnya.
Namun demikian persekusi yang melimpah SAB telah memberikan masalah sosial dan psikologis yang besar bagi SAB dan keluarganya. Harapan SAB memulihkan namanya hanya melalui proses hukum. Namun jika proses hukum telah selesai pun akan sangat berat bagi SAB untuk benar-benar mengembalikan nama baik dirinya dan keluarganya.
Pelaku persekusi jika telah terbukti bersalah di mata hukum haruslah diberikan hukuman yang sangat berat. Hal ini agar memberikan efek jera kepada si pelaku dan memberikan pelajaran bagi pihak lainnya agar tidak melakukan hal yang serupa.
Penulis berharap agar segenap rakyat Indonesia untuk dapat berlaku lebih bijak dan lebih adil di dalam konteks penegakan hukum yang ada. Ayo jadikan hukum sebagai panglima.
Oleh Poempida Hidayatulloh, Ketua Umum Organisasi Kesejahteran Rakyat, Dewas BPJS Ketenagakerjaan