DALAM tulisan sebelumnya Penulis telah menjelaskan betapa berbahayanya Persekusi Digital jika dibiarkan terjadi.
Di dalam suatu ruang yang sangat terbuka dan transparan seperti sekarang ini di Indonesia seyogianya praktek Persekusi Digital sungguh tidak boleh terjadi.
Banyak sudah berbagai kanal pengaduan resmi yang terbuka untuk publik dapat digunakan untuk menghindari praktek persekusi.
Kanal-kanal ini memang kadang dirasa tidak menyalurkan keinginan pengadu sebagaimanamestinya sehingga membuat pihak merasa kecewa atau merasa tidak diperhatikan secara cepat.
Jika demikian tekanan publik yang harus diciptakan seseorang seyogianya harus mengarah kepada terjadinya percepatan penanganan pengaduan tersebut. Tentunya dengan cara menekan institusi yang terkait. Bukannya dalam konteks mempersekusi seseorang.
Dengan cara yang tepat tekanan publik terhadap suatu institusi hampir dapat dikatakan suatu langkah cerdas dan jauh dari konteks pidana. Berbeda dengan suatu tindakan persekusi seseorang yang sangat kental dan sarat dengan unsur pidana.
Modus operandi dari Persekusi Digital yang utama adalah menciptakan opini atau pun dukungan orang banyak terhadap suatu hal yang belum tentu benar. Misalnya menuduh seseorang sebagai koruptor, menuduh seseorang sebagai pemerkosa, menuduh seseorang telah melakukan malpraktik, dan lain-lain.
Dan opini yang dibuat tidak dilengkapi dengan bukti-bukti atau fakta-fakta yang nyata dan sahih. Semua berbasis pada referensi bukti-bukti yang “circumstancial”, atau dengan kata masih ada keraguan dan tergantung pada situasi dan kondisi. Selain dari pada itu biasanya masih menimbulkan keraguan dan perdebatan.
Yang menjadi masalah adalah bahwa sebuah tuduhan yang bersifat pidana berpotensi menjadi pidana juga. Dalam konteks pidana hukuman harus dijatuhkan apabila tidak ada keragu-raguan lagi di dalam kasus yang ada. Namun tuduhan pidana dalam konteks persekusi digital ini langsung berdampak fatal.
Karena jika kemudian menjadi viral, menjadi suatu proses efek bola salju yang terus membesar tanpa terbendung. Di sinilah terjadi vonis publik kepada yang terpersekusi secara digital ini.
Akan sangat sulit bagi seseorang untuk kemudian merehabilitasi kembali namanya jika kemudian terbukti si terpersekusi ini tidak bersalah di mata hukum. Dampak seperti ini harus jelas dibarengi dengan hukuman yang sangat berat bagi si pemersekusi.
Karena bagaimana pun juga hukum yang terbangun harus menjadi suatu basis penangkal maraknya terjadi persekusi di mana-mana dan juga memberikan efek jera bagi si pelaku persekusi.
Memang kita semua tahu bahwa suatu proses hukum tidak ada yang cepat. Sehingga saat dalam proses hukum tengah berjalan si terpersekusi akan berada dalam keadaan “terpenjara” oleh opini publik yang terbangun.
Di sinilah letak kebijaksanaan publik diuji. Bagi masyarakat yang teredukasi dan melek hukum mungkin akan lebih objektif menilai suatu aksi persekusi digital.
Namun bagi kalangan masyarakat yang emosional dampaknya secara lebih jauh dapat menjadi suatu proses persekusi bertingkat. Artinya orang terpersekusi akan dipersekusi lebih lanjut dalam kalangan masyarakat yang emosional seperti ini.
Penulis perlu mengingatkan kembali bahwa Kebenaran dan Keadilan itu adalah milik dari Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian dilembagakan dalam bentuk peraturan Kenegaraan dalam bentuk hukum.
Tindakan persekusi tidak saja bertentangan dengan Sila Kedua dari Pancasila, “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”.
Tetapi juga bertentangan dengan Sila Pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Oleh karena itu tidaklah heran jika pelaku persekusi itu secara akhlak dan moral pasti jauh dari baik dan benar.
Penulis adalah pencinta tokoh fiksi komik Batman yang di mana karakter Batman si “vigilante” pembela kebenaran ini selalu menghormati proses hukum yang ada. Batman tidak pernah mau menghukum atau lebih jauh menghukum mati seseorang.
Batman selalu berusaha mengumpulkan bukti-bukti yang sahih dari suatu kejahatan dengan caranya sendiri untuk dapat benar-benar memastikan proses hukum memberikan hukuman yang setimpal bagi para penjahat yang merupakan musuhnya.
Penulis berharap bahwa bagi para aktifis penggiat advokasi sosial yang kerap dijuluki “social justice warriors” harus lebih jeli dan obyektif dalam mengangkat suatu isyu advokasi. Pertajam dan perlengkap informasi yang kalian miliki.
Pastikan segala bukti yang kalian miliki memiliki basis hukum yang pasti. Karena jika tidak, berarti kalian telah melakukan suatu persekusi. Kalian pasti tidak menjadi “hero” tapi kalian akan menjadi “zero” akibat persekusi yang kalian buat.
Oleh Poempida Hidayatulloh, Ketua Umum Orkestra