KedaiPena.Com- Persatuan Pegawai PT PLN Indonesia Power menggelar seminar ketenagalistrikan, konsolidasi dan kaderisasi PP-IP di unit kerja Suralaya. Seminar yang membahas soal PLTU Suralaya mengundang pembicara antara lain ialah pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng dan pengamat intelijen, John Mempi.
Ketua PP-IP unit kerja Suralaya M Hamdan Faturahman mengurai ancaman penutupan PLTU Suralaya secara komprehensif. Menurutnya, ancaman penutupan PLTU Suralaya, malah membuat konsolidasi PP-IP unit kerja Suralaya semakin solid dan kaderisasi semakin banyak.
Ia mengurai, mesin pembangkit terbaik dari berbagai negara eropa terutama Jerman yang ada di PLTU Suralaya harus menanggung beban pembakaran batubara yang tidak sesuai dengan speknya. Hal ini berdampak pada perawatan mesin dan pengeluaran emisi.
“Untuk menjaga kinerja optimal mesin pembangkit diperlukan anggaran yang tidak sedikit. Termasuk memperbarui teknologi dalam menjaga dan mengurangi emisi sesuai baku mutu yang sudah ditetapkan,” ungkap Faturahman dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, (23/11/2024).
Sedangkan pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng menjelaskan bagaimana upaya penutupan PLTU Suralaya dilakukan dengan membuka sebagian data, sambil menutupi sebagian data yang lain. Data yang dibuka itu menyangkut oversuplay listrik yang besar, bahaya polusi dari batubara yang besar, dan uang dari proses transisi energi yang besar.
Sementara data yang tidak dipublish. Berapa banyak PLTU di Indonesia. Bagaimana persentase perbandingan antara PLTU PLN dan PLTU swasta. Siapa saja pemilik PLTU swasta. Dimana keterkaitan pemilik tambang batubara dengan PLTU swasta. Adakah keterkaitan pengambil kebijakan menyangkut energi listrik dengan pemilik tambang batubara dan pemilik PLTU swasta.
“Ketika kita mengetahui itu. Kita akan sadar bahwa listrik dibajak oligarki, Dan secara otomatis kita akan mengetahui PLTU siapa yang disuntik mati,” papar Salamuddin Daeng.
Pendapat ini diperdalam oleh pengamat intelijen, John Mempi. Yang menjelaskan sejarah menyangkut strategi pemerintah dalam dinamika kepemilikan dan kebijakan di BUMN. Termasuk Serikat Pekerja (SP). Dimana pada awal masa kemerdekaan dengan demokrasi liberalnya tercipta SP Kiri, SP Kanan dan SP Tengah.
“Semuanya memperjuangkan kepemilikan negara dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Sehingga sejarahnya, SP itu adalah abdi negara. Pada masa Orde Baru SP di BUMN dimasukkan kedalam Korpri. Yang memperjelas posisinya sebagai abdi negara,” ungkap John Mempi.
Mengenai rencana pemerintah terhadap PLTU Suralaya. John Mempi menjelaskan bahwa semenjak reformasi terjadi perubahan kekuasaan dan bentuk oligarki. Dari Oligarki Sultanistik ke Oligarki Penguasa Kolektif. Atau dari Oligarki Suharto ke Oligarki Gerombolan. Dimana oligarki gerombolan ini sangat berbahaya.
Terlihat dengan terjadinya privatisasi BUMN. Memiliki saham di BUMN. Mengambil keuntungan dari proyek-proyek BUMN. Ketika sudah sangat kaya, membuat usaha seperti BUMN. Dan bersaing dengan BUMN. Kerakusan ini akan terus semakin merusak.
“Saya curiga rencana oligarki terhadap PLTU Suralaya bukan untuk disuntik mati. Tetapi disuntik anestesi. Ketika sudah sadar, ternyata karyawannya semua sudah dirumahkan. Dan PLTU Suralaya sudah diambil swasta,” canda John Mempi.
Laporan: Tim Kedai Pena