Artikel ini ditulis oleh Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal PRIMA.
Entah berlebihan atau tidak bila saya katakan, pemimpin nasional yang paling antusias mengenai persatuan dalam sejarah Republik Indonesia adalah Sukarno dan Prabowo Subianto. Tentu, semua mantan presiden berbicara dan menunjukkan komitmen mereka menjaga persatuan. Tapi pada kedua tokoh ini terdapat hal yang khas. Keduanya tidak hanya bicara persatuan dalam kadar normatif, misalnya, bahwa apa yang sudah dibangun para pendahulu jangan dirusak oleh kita kini. Sukarno dan Prabowo memberi landasan pembacaan yang historis, aktual, dan berperspektif hari depan untuk menjelaskan betapa pentingnya persatuan nasional tersebut. Meskipun, pada keduanya ada persamaan dan perbedaan.
Sukarno
Sukarno muda di usia 25 tahun, dengan tulisan pertamanya yang paling berpengaruh “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, merumuskan aspirasinya yang mendasar mengenai strategi menuju kemerdekaan. Ia melihat realitas perseteruan antar kekuatan-kekuatan yang seharusnya bersatu. Sukarno berhasil menyediakan platform bagi persatuan tersebut yaitu Indonesia merdeka. Menurutnya tujuan Indonesia merdeka adalah yang terpenting. Baik kaum nasionalis, kaum Islamis, dan kaum marxis, masing-masing mengalami nasib yang sama di bawah kolonialisme dan memiliki tujuan yang sama (kemerdekaan), meskipun didorong oleh basis pemahaman yang berbeda.
Berangkat dari pembacaan atas situasi geopolitik, Sukarno muda menyampaikan bahwa “rakyat Asia lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya”. Ia lantas membedah satu per satu ketiga unsur di atas, baik pada aras filsafat maupun praktik politik, setelah melemparkan pertanyaan apakah ketiga “roch” itu bisa bersatu menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk mengalahkan kolonialisme. Dengan tegas dan mantap Sukarno menjawab ketiga unsur tersebut bisa bersatu sembari memaparkan penjelasannya.
Konsistensi sikap Bung Karno terhadap soal persatuan ini bertahan hingga akhir hayatnya. Selain analisa kebutuhan persatuan berbasis sosiologis terkait aliran-aliran ideologi politik, Bung Karno juga mengemukakan analisanya dengan landasan yang lebih mendasar yaitu ekonomi politik. Ini beliau sampaikan dalam Kursus Pancasila tanggal 26 Mei dan 16 Juni 1958 di Istana Negara. Dasar ekonomi politik tersebut adalah penilaian terhadap watak imperialisme Belanda yang khas, yaitu kapital finance, yang membawa kemiskinan kepada seluruh lapisan rakyat Indonesia. Bung Karno mengatakan rakyat Indonesia menjadi “verpauveriseerd” (miskin) di segala lapangan, baik “lapangan proletar maupun lapangan yang tidak proletar”.
Pembacaan di atas yang mengantarkan Bung Karno pada konsep tentang Marhaenisme. Bahwa perjuangan Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah perjuangan seluruh lapisan sosial yang sama-sama dirugikan selama kolonialisme. Bagi Bung Karno, tidak ada kelas borjuasi yang berhasil tumbuh di Indonesia. Cikal-bakal atau bibit-bibitnya sudah tergerus dan dimiskinkan oleh kolonialisme.
Prabowo
Setidaknya ada tiga hal penting berkaitan dengan persatuan nasional dalam pidato Prabowo Subianto di penutupan Kongres Partai Amanat Nasional (24/8) dan Partai Nasdem (26/8) yang baru lalu. Pada kedua pidato itu ditemukan kesamaan inti pesan. Pertama, Prabowo mengemukakan landasan bagi persatuan adalah berpegang pada nilai dan tujuan yang sama yaitu “mencari yang terbaik untuk rakyat”. Sejauh nilai dan tujuan tersebut sama maka pasti bisa bersatu dan bekerjasama. Kedua, Prabowo menyatakan sikapnya “yang salah katakan salah, yang benar katakan benar”. Tapi, pada intinya, jangan menyalah-nyalahkan sehingga Bangsa ini menjadi terpecah-belah. Beliau mengingatkan kita untuk belajar dari sejarah devide et impera yang dilakukan penjajah terhadap Bangsa Indonesia. Ketiga, Prabowo mengatakan Indonesia saat ini “benar-benar bersiap untuk tinggal landas”, namun beliau mengingatkan adanya kepentingan luar (asing) yang tidak senang dan ingin menggagalkan rencana tersebut.
Prabowo memang tidak menerangkan lebih gamblang siapa kepentingan asing dimaksud dan bagaimana mereka beroperasi. Tapi dengan membuka cakrawala pikir pada konteks sejarah dan persaingan geopolitik, kita menjadi paham bahwa kepentingan asing yang dimaksud tidak jauh dari kekuatan hegemon yang menguasai dunia. Pembacaan ini sejalan dengan kesimpulannya tentang net outflow of national wealth (mengalirnya kekayaan nasional ke luar). Di sini Prabowo ingin menunjukkan bahwa nasionalisme bukan hanya perkara transendental berupa perasaan senasib dan setujuan, tapi juga imanen dengan perkara spasial sebagai wujud materialnya. Perkara spasial pun tak sesempit penguasaan teritorial melainkan kandungan kekayaan beserta hasil produksi dari manusia di dalamnya.
Selain menyimak berbagai pidato dan tulisan, penulis merasakan sendiri bahwa ikhtiar Prabowo untuk persatuan nasional bukanlah gimik atau basa-basi. Parameter sederhana yang penulis gunakan untuk merasakan itu adalah ajakan dari Prabowo kepada Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang secara jelas ia ketahui diinisiasi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dikenal sebagai partai kiri di Indonesia dan menjadi musuh Orde Baru. Stigma komunis yang ditempelkan tak juga pudar sekalipun sudah berganti azas menjadi Pancasila di tahun 2010. Tapi dengan kerendahan hati Prabowo mengajak PRIMA untuk berada di barisan pendukungnya dalam Pilpres lalu. Meski sebagian orang melihat dari sudut berbeda bahwa Prabowo membutuhkan PRIMA dan eks PRD hanya untuk melegitimasi dan membersihkan namanya dari tuduhan pelanggaran HAM, tapi penulis masih yakin bahwa kalaupun ada, hal itu bukan motivasi utama.
Dengan sikap “salah katakan salah, benar katakan benar”, Prabowo menyadari pasti ada perbedaan sikap terhadap hal-hal tertentu. Tapi ia tetap menekankan persatuan sehingga penting untuk menjadi titik kesamaan. Sukarno muda berupaya membedah masing-masing isme yang berkembang saat itu untuk ditautkan kesamaan-kesamaannya. Prabowo sekarang menggarisbawahi platform persatuan berupaa orientasi pada kepentingan rakyat dan tanah air, yang dalam rumusan ideologisnya bisa menjadi nasionalisme progresif atau nasionalisme dengan karakter kerakyatan.
Pendiskusian lebih lanjut tentang persatuan ini mungkin pada metode menggalang persatuan tersebut. Prabowo sering mengatakan yang terpenting adalah “elitnya yang bersatu”. Dilihat sepintas, pernyataan ini seolah mengesampingkan pentingnya persatuan non-elit atau rakyat. Tapi Prabowo paham karakter paternalistik dalam politik Indonesia. Bahwa hanya kelas menengah ke atas yang memiliki cukup kesadaran politik untuk mengartikulasikan kepentingannya, dan elit yang bersatu akan membawa serta golongan rakyat yang belum dapat bersikap secara independen. Meski demikian, mungkin persoalan tak sesederhana itu sehingga kita perlu ingatkan mendesaknya ekosistem politik untuk partisipasi rakyat yang lebih luas.
Kesamaan dan Perbedaan Realitas
Jelas ada kesamaan dan perbedaan esensi realitas ekonomi politik saat Bung Karno kemukakan gagasan persatuan nasional dengan realitas saat ini. Kesamaannya terletak pada konteks geopolitik, terutama bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa yang dirugikan oleh praktik tata dunia yang berlaku. Di masa Bung Karno, baik pra ataupun pasca kemerdekaan, tantangan keberadaan kolonialisme terang seperti matahari, dan neokolonialisme di pasca kemerdekaan masih terang seperti bulan purnama. Bila analogi tersebut disambungkan pada konteks kekinian, keberadaan neokolonialisme menjadi lebih redup seperti bulan tersaput awan sehingga butuh usaha yang lebih untuk memahaminya.
Karakter imperialisme dan neokolonialisme yang terbaru telah beradaptasi sedemikian rupa sehingga penghisapannya menjadi lebih tersamar. Tapi berbekal pengalaman dan pelajaran masa lalu seorang Prabowo Subianto mengetahui hal itu. Pergeseran geopolitik turut membuka kesadaran tentang pilihan lain daripada kapitalisme neoliberal sebagai wujud neokolonialisme. Bukan kebetulan, mengada-ada, atau semata jargon ketika dalam pidato pasca ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, Prabowo mengingatkan agar kita jangan lagi mau dipecah belah oleh neokolonialisme dan imperialisme.
Akan tetapi, realitas sosial yang membedakan situasi kini dan era Bung Karno adalah di dalam negeri kita sendiri. Orde Baru berhasil melahirkan kelas borjuasi nasional yang sebagian besar bertahan hingga saat ini. Artinya, ada lapisan sosial baru yang tidak eksis kala Bung Karno mengemukakan gagasannya tentang persatuan nasional. Sebagaimana diterangkan Richard Robinson (1986), kelahiran borjuasi ini disokong oleh negara, sedangkan kebertahanan mereka hingga sekarang disokong oleh berbagai faktor termasuk negara itu sendiri.
Terhadap keberadaan borjuasi ini penting untuk dipilah dan ditempatkan dalam kepentingan nasional. Sebagian borjuasi ini telah nyaman berposisi sebagai penikmat ekstraktivisme sumber dalam alam Indonesia dalam kolaborasinya dengan kapital asing. Ini salah satu sumber “kebocoran” yang sering disebut oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Oleh karena itu penting ditegaskan bahwa tidak boleh ada ego atau kepentingan individu yang lebih tinggi daripada kepentingan nasional. Dengan kata lain, dalam praktik bernegara, tidak boleh negara dikendalikan oleh kepentingan modal, tapi sebaliknya, modal yang harus dikendalikan atau diatur oleh negara untuk kepentingan rakyat. Dengan penerimaan atas prinsip tersebut maka persatuan nasional dalam pemerintahan Prabowo-Gibran akan selangkah lebih dekat menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur.
[***]