LAIN padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Ini peribahasa yang bukan saja berlaku dalam kaitan beda adat beda penghargaan, tetapi bisa juga nampaknya diperluas dengan lain situasi lain pula penyikapannya.
Jokowi sudah memberi sinyal akan mengeluarkan Perppu mengenai pemberlakuan UU KPK yang saat itu diketuk persetujuannya.
Mengantisipasi aksi unjuk rasa masif mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Tokoh-tokoh yang hadir saat pertemuan di Istana menyarankan terbitnya Perppu. Persoalan hanya pada konten.
Sementara aksi mahasiswa telah membawa korban tewas maupun luka luka.
Setelah pelantikan dilanjutkan dengan penyusunan Kabinet, situasi menjadi fokus kepada pengkritisan pengangkatan Menteri.
Ada kontroversi dari beberapa menteri yang ditetapkan antara lain Mendikbud Nadiem Makarim dan Menag Fachrul Razi.
Reaksi UU KPK dan pemberantasan korupsi mereda. Di tengah kondisi yang relatif tenang berkaitan dengan UU KPK hasil revisi ini, maka Presiden Jokowi menyatakan tidak akan menerbitkan Perppu.
Alasan hukumnya adalah adanya gugatan Uji Materil UU KPK melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Gagalnya Perppu disikapi beragam. Sikap paling ekstrim adalah memang Jokowi pembohong, banyak pihak yang tertipu sebagaimana yang menjadi kebiasaannya tidak menepati janji.
Yang moderat menyatakan dari awal tidak ada niat untuk mengeluarkan Perppu dan untungnya ada alasan gugatan uji materil. Yang paling lunak dan mendukung adalah Jokowi seorang penghormat hukum.
Apapun penyikapan itu, namun fakta yang ada adalah Perppu tidak jadi. Artinya penggembosan KPK tetap berjalan.
Pemberantasan korupsi tidak menjadi komitmen Pemerintah. Inilah kekhawatiran bangsa ke depan.
Jika korupsi merajalela dan itu dianggap sebagai “ordinary crime” dan dinamika saja dari pembangunan, maka betapa bahayanya negara.
Tak ada artinya investasi, utang luar negeri, pembangunan infrastruktur, kenaikan tarif, memperbanyak wamen dan ribut soal radikalisme, jika budaya korupsi ditumbuhkembangkan serta lembaga anti korupsi dimandulkan.
Rakyat terpaksa berhadapan dengan wajah bertopeng raja berhati serigala. Perampok berbaju putih dengan jiwa yang hitam. Negara menjadi panggung sandiwara.
Dan rakyat pun semakin mual menonton peran para pendusta.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung