Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, S.H., Advokat, Pejuang Syariah & Khilafah.
Dulu, saat Pemerintah dan DPR merevisi UU KPK, masyarakat protes. Saat itu, segenap elemen masyarakat mendesak Presiden Jokowi agar dapat menerbitkan Perppu untuk membekukan keberlakuan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Nyatanya, tuntutan masyarakat tidak dipenuhi. Situasi genting karena banyaknya demo stas penolakan UU KPK yang baru, tidak menggerakkan Presiden untuk menerbitkan Perppu.
Namun, di penghujung tahun 2022 tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022, tak ada angin tak ada hujan, Presiden Joko Widodo tiba-tiba menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
PERPU ini diklaim diterbitkan dalam situasi genting, situasi yang mendesak. Menko Airlangga Hartarto menyebut, pengeluaran Perppu ini sudah sudah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138/PUU-VII /2009.
Dalihnya, kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi. Jadi, dalihnya bukan lagi pandemi Covid-19, melainkan masalah global.
Memang benar, Presiden memiliki wewenang untuk menerbitkan PERPPU. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, dikatakan:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.
Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 UU 15/2019 (perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan) yang berbunyi:
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Namun, kewenangan Subjektif Presiden untuk menerbitkan PERPU ini diatur dengan syarat objektif yang limitatif, sebagaimana diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU, yaitu:
Pertama, Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Dalam penerbitan PERPPU No 2/2022 tentang Cipta Kerja ini tidak ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Amanat Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun (25 November 2023) tidak diperbaiki maka akan inkonstitusional secara permanen.
Namun, dalam rentan hingga dua tahun ini ternyata pemerintah tidak melaksanakan amanah putusan MK untuk memperbaiki tapi malah potong kompas dengan menerbitkan PERPPU. Ini bukan kegentingan yang memaksa, tetapi menciptakan kegentingan untuk kepentingan syahwat diktator konstitusi.
Dalam Putusan MK angka 3 a Quo, menyebutkan “Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan MK tersebut adalah dalam 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan yaitu tanggal 25 November 2021 hingga 25 November 2023, UU Cipta Kerja masih berlaku dengan syarat DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 di antaranya adalah:
1. Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011;
2. Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja; dan
3. Menghindari adanya perubahan substansi yang ‘mendadak’ di sela-sela proses persetujuan bersama Presiden dan DPR dan pengesahan.
PERPPU Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden ini melanggar 3 konsekuensi putusan MK dimaksud. Karena itu, PERPPU dibuat cacat proses dan prosedur (cacat formil).
Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
Faktanya, kalaupun UU Cipta Kerja tidak direvisi oleh pemerintah dan DPR dalam dua tahun. Dalam amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah juga menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Itu artinya, tidak ada kekosongan hukum. Sebab, kalaupun pemerintah dan DPR gagal merevisi UU Cipta Kerja selama 2 tahun, maka UU tersebut akan inkonstitusional permanen dan undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja dibuat dengan teknik Omnibus Law, sekitar 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal direvisi secara sekaligus melalui UU ini.
Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sebenarnya, masih ada waktu bagi Pemerintah dan DPR untuk mematuhi amar putusan Mk Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selama tenggang waktu 2 tahun pemerintah diberi waktu untuk memperbaiki.
Namun, sejak tahun 2020 hingga tahun 2022 revisi UU Cipta Kerja ini tidak masuk Prolegnas. Itu menunjukan Pemerintah dan DPR malas bekerja untuk melaksanakan putusan MK.
Alhasil, PERPU Cipta Kerja tidak dibuat dalam situasi genting, tidak ada kebutuhan mendesak, tidak ada kekosongan hukum karena sebelumnya Pemerintah dan DPR diberi waktu 2 tahun untuk merevisi UU Cipta Kerja. PERPPU Cipta Kerja ini sejatinya mengkonfirmasi kemalasan dan ketidakpatuhan Pemerintah dan DPR untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi.
[***]