Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Menteri Keuangan Sri Mulyani sibuk klarifikasi transaksi janggal atau mencurigakan sebesar Rp349 triliun di kementerian keuangan. Pernyataan demi pernyataan dikeluarkan, untuk meyakinkan masyarakat, bahwa tidak ada masalah dengan pegawai Kementerian Keuangan: tidak ada korupsi, tidak ada pencucian uang.
Tetapi, pernyataan-pernyataan tersebut terdengar janggal, membuat masyarakat sulit percaya kebenaran cerita di balik pernyataan tersebut.
Sri Mulyani dan Mahfud MD mengadakan dua kali konferensi pers, 11 Maret dan 20 Maret. Kemudian Sri Mulyani bertemu DPR pada 27 Maret.
Pada 11 Maret, Sri Mulyani mengatakan Kementerian Keuangan sudah menerima 266 laporan dari PPATK sejak 2007-2023. Sebelumnya Mahfud dan Ivan Yustiavandana, kepala PPATK, menjelaskan sudah menyerahkan 200 berkas laporan kepada kementerian keuangan sejak 2009-2023.
Sri Mulyani mengatakan, laporan tersebut melibatkan 964 pegawai Kementerian Keuangan. Mahfud sebelumnya mengatakan laporan PPATK melibatkan 467 pegawai kementerian keuangan.
Sri Mulyani dan Mahfud tidak pernah mengatakan, laporan PPATK tersebut melibatkan perusahaan.
Mahfud berkali-kali menyatakan, laporan PPATK merupakan dugaan pencucian uang sekitar Rp300 triliun di Kementerian Keuangan (kemudian dikoreksi menjadi Rp349 triliun pada konferensi pers 20 Maret).
Artinya, mahfud menyatakan transaksi janggal Rp300 triliun (kemudian Rp349 triliun) tersebut melibatkan 467 pegawai kementerian keuangan.
Sri Mulyani menjelaskan lebih rinci, dari 266 laporan tersebut, 185 laporan atas permintaan Kementerian Keuangan terkait pegawai (ASN) Kementerian Keuangan, dan 81 laporan atas inisiatif PPATK juga terkait pegawai kementerian keuangan (aparat dan ASN).
Artinya, seluruh 266 laporan PPATK tersebut terkait transaksi janggal pegawai Kementerian Keuangan! Catat!
Pernyataan Sri Mulyani terkait 185 laporan atas permintaan kementerian keuangan sendiri kepada PPATK, terdengar sangat janggal.
Atas dasar apa, Kementerian Keuangan boleh minta transaksi keuangan pegawainya kepada PPATK? Apakah kementerian keuangan sudah tahu ada indikasi pencucian uang? Tahu dari mana?
Kalau tidak ada indikasi pencucian uang, maka menteri tidak berhak minta transaksi keuangan setiap orang, termasuk pegawainya, karena nasabah Bank dilindungi UU Kerahasiaan Bank (UU No 10 Tahun 1998), kecuali untuk keperluan tertentu, misalnya peradilan, atau terkait pencucian uang.
Kemudian, PPATK seharusnya tidak mempunyai data setiap transaksi keuangan dari setiap orang. Karena PPATK hanya menerima transaksi mencurigakan, atau transaksi keuangan paling sedikit Rp500 juta dalam satu kali transaksi atau beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja: Pasal 23 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU. Jadi, Pernyataan Sri Mulyani ini sangat janggal.
Sri Mulyani kemudian juga menjelaskan, semua laporan PPATK sudah ditindaklanjuti. Sebanyak 352 pegawai kena sanksi disiplin, sesuai UU tentang ASN. Pernyataan ini sangat janggal. Laporan PPATK terkait dugaan tindak pidana pencucian uang, bagaimana diselesaikan hanya dengan sanksi disiplin, menggunakan UU tentang ASN? Sulit dipercaya! Ini dugaan tindak pidana, Bung! Kok menggunakan UU ASN?
Kemudian, Sri Mulyani juga mengatakan ada laporan PPATK tidak bisa ditindaklanjuti karena pegawai tersebut sudah pensiun atau tidak bekerja lagi di Kementerian Keuangan. Bagaimana bisa, dugaan tindak pidana pencucian uang tidak bisa diusut lagi karena alasan pensiun atau tidak bekerja lagi? Sulit dipercaya, pernyataan ini keluar dari mulut Menteri Keuangan.
Selanjutnya, Kementerian Keuangan sudah melimpahkan 16 kasus ke APH (Aparat Penegak Hukum): KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian. Alasannya, Kementerian Keuangan bukan APH. Pertanyaannya, apakah 16 kasus yang dilimpahkan tersebut sudah disidik, diadili atau dihukum? Berapa nilai pencucian uangnya?
Sri Mulyani mengaku tidak tahu nilai transaksi mencurigakan yang dilaporkan PPATK kepada Kementerian Keuangan mencapai Rp300 triliun. Sri Mulyani mengatakan laporan PPATK tidak mencantumkan nilainya.
Pernyataan ini juga sangat janggal. Jadi, apa isi 185 laporan dari PPATK atas permintaan kementerian Keuangan, dan 81 laporan atas inisiatif PPATK, kalau tidak ada nilainya?
Artinya, atas dasar apa pegawai Kementerian Keuangan tersebut dikenakan sanksi disiplin? Dan, bagaimana 16 kasus bisa dilimpahkan kepada APH kalau tidak ada nilai transaksi tindak pidananya? Pernyataan ini terdengar begitu janggal, tidak masuk akal, sampai terkesan bohong?
Terkait Rafael Alun Trisambodo, Sri Mulyani mengaku hanya menerima laporan dari PPATK untuk transaksi keuangan sejak 2019, bukan 2013. Dan itupun hanya transaksi kecil-kecil, antara Rp50 juta – Rp150 juta. Kalau ini benar, berarti Kepala PPATK ditengarai melanggar dua hal.
Pertama PPATK lalai melaporkan transaksi mencurigakan Rafael Alun Trisambodo, yang menurut Mahfud mencapai Rp500 miliar, kepada Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal. Di lain sisi, Kepala PPATK selalu mengatakan sudah memberi laporan dugaan pencucian uang kepada Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal.
Jadi, pernyataan Sri Mulyani ini sangat janggal dan bertentangan dengan keterangan Ivan Yustiavandana. Siapa yang berbohong: Sri Mulyani atau Ivan Yustiavandana?
Kedua, Bank dan PPATK bisa diduga melanggar UU PPATK dan UU kerahasiaan bank karena memberi transaksi tidak mencurigakan, atau transaksi perbankan biasa kepada Kementerian Keuangan.
Transaksi kecil-kecil ini justru bisa mengarahkan pada tindak pidana pencucian uang dengan metode smurfing, yaitu memecah transaksi dengan nilai besar menjadi banyak transaksi dengan nilai kecil-kecil, sehingga terkesan legal. Pertanyaannya, berapa nilai total transaksinya, apakah mencapai ratusan miliar rupiah?
Sekarang beralih ke konferensi pers 20 Maret, dan pertemuan Komisi XI DPR dengan Sri Mulyani pada 27 Maret.
Sri Mulyani mengatakan ada 300 laporan (atau surat) dari PPATK sejak 2009-2023. Jumlah ini lebih banyak dari pernyataan PPATK sebelumnya yaitu 200 laporan. Karena 100 laporan dikirim langsung oleh PPATK ke APH, tidak melewati Kementerian Keuangan.
Dari 200 laporan tersebut, sebanyak 139 laporan atas permintaan Kementerian Keuangan, dan 61 laporan atas inisiatif PPATK,
Berarti, Sri Mulyani mengakui ada 200 laporan dari PPATK kepada Kementerian Keuangan (139+61), sesuai dengan pernyataan Kepala PPATK sebelumnya.
Menurut keterangan sebelumnya, Sri Mulyani mengakui bahwa 200 laporan tersebut semua terkait transaksi mencurigakan pegawai kementerian keuangan: 964 kalau dihitung sejak 2007 (versi Sri Mulyani) atau 467 kalau dihitung sejak 2009 (versi Mahfud).
Keduanya, Sri Mulyani dan Mahfud, tidak pernah mengatakan ada keterlibatan perusahaan.
Tetapi, Sri Mulyani kemudian menyatakan ada transaksi mencurigakan dari 65 perusahaan yang termasuk di dalam 200 laporan PPATK tersebut, dengan nilai transaksi mencurigakan Rp253 triliun!
Kemudian, sisanya 135 laporan (200-65) terkait korporasi dan pegawai kementerian keuangan, melibatkan transaksi mencurigakan Rp22 triliun.
Kalau dijumlahkan, 200 laporan ini hanya mencakup transaksi Rp275 triliun (Rp253 triliun + Rp22 triliun), bukan Rp349 triliun seperti pernyataan Mahfud.
Karena 100 laporan senilai Rp74 triliun itu diserahkan langsung dari PPATK kepada APH, tidak melalui Kementerian Keuangan. Angkanya seperti dipas-paskan saja?
Dari transaksi mencurigakan senilai Rp22 triliun, yang terkait pegawai Kementerian Keuangan hanya Rp3,3 triliun: pertanyaannya, berapa banyak pegawai kementerian keuangan yang terlibat?
Padahal, Mahfud menyatakan pada 11 Maret, sampling 7 laporan saja (dari 200 laporan yang melibatkan 467 pegawai Kementerian Keuangan) mencapai Rp60 triliun!
Sehingga, pernyataan Sri Mulyani terdengar sangat janggal.
Bagaimana dengan transaksi mencurigakan dari 467 (versi Mahfud) atau 964 (versi Sri Mulyani) pegawai kementerian keuangan? Kenapa tiba-tiba menghilang, dan menjadi Rp3,3 triliun saja?
Sekonyong-konyong, muncul perusahaan raksasa dengan transaksi jumbo. Bahkan ada 1 laporan mempunyai transaksi Rp189 triliun.
Sri Mulyani menyatakan, transaksi mencurigakan jumbo ini diberikan kepada Kementerian Keuangan karena terkait tugas dan fungsi pajak dan bea cukai?
Pertanyaannya, dari mana PPATK bisa tahu bahwa transaksi mencurigakan perusahaan tersebut terkait pajak dan bea cukai, padahal yang bersangkutan belum disidik? Apakah PPATK sudah berubah menjadi pesulap?
Pencucian uang umumnya berasal dari aktivitas ilegal, apakah narkoba, judi, korupsi, atau lainnya. Semua ini umumnya melibatkan perorangan. Bukan perusahaan. Sedangkan perusahaan umumnya dijadikan wadah penampung untuk tempat pencucian uang, tetapi selalu melibatkan perorangan sebagai sumber dana. Sangat janggal kalau tiba-tiba ada perusahaan dengan transaksi mencurigakan sebesar jumbo tetapi tidak melibatkan perorangan. Apakah rakyat Indonesia dianggap sebodoh itu?
Janggalnya lagi, Kalau kasus transaksi mencurigakan Rp500 miliar dari Rafael Alun tidak diberikan kepada Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal tetapi diberikan kepada KPK, kenapa kasus perusahaan dengan transaksi mencurigakan sangat besar tersebut sebaliknya, yaitu diberikan kepada Kementerian Keuangan tetapi tidak diberikan kepada APH?
Jadi, pernyataan Sri Mulyani tersebut sungguh janggal. Hampir mustahil bisa dipercaya.
Dalam kasus dugaan pencucian uang ini, semua pejabat bisa berbohong sesukanya, karena rakyat tidak bisa konfirmasi pernyataan mereka, dengan alasan informasi tersebut bersifat rahasia dan tidak boleh dibuka kepada masyarakat karena bisa dipidana.
Jadi, masyarakat tidak bisa tahu kebenarannya. Oleh karena itu, masyarakat cenderung tidak percaya semua pernyataan janggal dari Sri Mulyani maupun Ivan Yustiavandana, termasuk Komisi III DPR yang terkesan mau menutupi mega skandal ini.
Oleh karena itu, rakyat mendukung Mahfud menuntaskan dugaan mega skandal pencucian keuangan di Kementerian Keuangan ini, dan segera minta Jaksa Agung melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka.
[***]