KedaiPena.Com – Penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2014 memberikan konsekuensi untuk mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dimana ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa lagi diterapkan.
Deputi Program Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunissa Agustyati menjelaskan, pada pasal 6a Ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan, bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
“Perbedaan waktu pelaksanaan tersebut berangkat dari pemaknaan frasa sebelum pelaksanaan pemilihan umum di dalam pasal 6A Ayat 2 UUD 1945. Namun Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013. Yang dimohonkan oleh Efendi Ghazali maka makna frasa tersebut sebelum Pemilu serentak,” jelas dia kepada KedaiPena.com, Minggu (5/2).
Pemilu serentak disini, kata dia, jelas disebutkan dalam pasal 221 Ayat (2) UUD 45, yang artinya partai politik yang sudah lolos menjadi peserta Pemilu 2019 dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini juga sudah sesuai dengan pemaknaan Pemilu serentak, sebagaimana tafsir sistematis yang juga diperkuat keputusan MK.
“Selain itu, adanya keinginan mengambil ambang batas berdasarkan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2014 adalah pilihan yang tidak dibenarkan,” tutur dia.
“Karena hasil Pemilu 2014 merupakan serangkaian hasil yang panjang, karena dimulai dari pendaftaran calon, kampanye, penting pemungutan suara perhitungan, sengketa MK sampai pada hasil akhir Pemilu 2014. Disamping itu hasil Pemilu 2014 di dapat dari total pemilih dan ondisi sosial yang berbeda pada tahun 2019,” lanjut dia.
Selain itu, tambahnya, jika ambang batas diambil dari hasil Pemilu 2014 maka otomatis partai yang tidak berpartipasi pada Pemilu 2014 tidak dapat mencalonkan Capers dan Cawapres.
Tentunya ini sangat tidak sesuai dengan prinsip Keadilan Pemilu (Elctoral Justice) dimana setiap peserta Pemilu mempunyai hak pencalonan (Candidacy right) yang sama.
Meskipun ada keputusan MK yang menyatakan ambang batas pencalonan Presiden itu adalah Kebijakan Hukum yang terbuka (open legal policy).
“Tentunya para pembentuk UU di DPR tidak bisa membaca putusan tersebut dari satu sudit pandang. Karena konsekuensi logis dari penyelenggaran Pemilu serentak yang membuat ambang batas tidak berlaku lagi,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh