Artikel ini ditulis oleh Pengamat Politik, Surya Fermana.
Pasca Perang Dunia, setelah bangsa-bangsa menaklukan ekspansi poros fasisme, keadaan geopolitik global dihadapkan pada pertarungan ideologi Komunisme vs Kapitalisme. Perang dingin atau ‘Cold War‘ antara negara komunis dengan negara kapitalis. Kemudian perang dingin itu berakhir dengan satu tesis Fukuyama “The End of History“. Berakhirnya sejarah dalam mencapai puncak.
Dalam perspektif Hegelian perjalanan dialektika sejarah roh mencapai pucak kesempurnaan. Liberalis-Kapitalis. Di Uni Soviet, Mikhail Gorbacev melakukan reformasi keterbukaan dan disentralisasi kekuasaan ‘Glasnot Perestroica‘, yakni peristiwa puncak berakhirnya ‘Cold War‘ adalah perayaan runtuhnya tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur (Komunis) dengan Jerman Barat (Liberal Kapitalis).
Grup Band musik dunia Scorpion tampil konser di Berlin membawakan lagu epik, ‘Wind of Change‘.
Sekitar 1 dekade tesis ‘The End of History‘ berjalan mulus, di Eropa terjadi Revolusi Warna yaitu berdirinya negara-negara yang memisahkan diri dari induknya negara Komunis.
Namun kemudian tesis ‘The End History‘ ditantang oleh tesis berbeda dari Huntington yaitu “The Clash of Cuvilization“, yakni benturan peradaban, antara Barat dengan Timur (Islam).
Amerika, tersita perhatiannya pada tesis benturan peradaban itu. Dimulai dengan serangan bom di menara kembar WTC Amerika pada tahun 2001 yang kemudian membuat Amerika mendeklarasikan ‘War on Teror‘ (WOT). Itu seperti menguatkan hipotesa Huntington terkait benturan peradaban tersebut.
AS mengambil tindakan melakukan serangan terhadap Afghanistan, lalu Irak (Saddam Husein), selama 2 dekade lebih Amerika terjerat terhadap tesis itu, seolah-olah tidak ada lagi yang bisa diurus Amerika Serikat selain umat Islam dan terorisme.
Pada era Perang Dingin AS memainkan ‘Devil Games‘ dengan membangun hubungan kerjasama dengan Saddam Husein di Irak dan Mujahidin di Afganistan. AS bersama Saddam menghalau pengaruh Revolusi Iran yang dekat dengan Komunis. AS, bersama Mujahidin mengusir Uni Soviet dari Afganistan. Semuanya berubah tatkala sudah tak ada kepentingan. Afganistan dan Irak kemudian diinvasi AS.
Namun saat ini AS telah meninggalkan Afganistan dan mungkin akan menimbulkan perubahan baru dalam geopolitik. Di Irak sendiri sepeninggal Saddam kekuatan politik di Irak didominasi Syiah dan meluas ke Suriah setelah takluknya ISIS.
Pola pikir Amerika menjadi problem negara demokrasi di seluruh dunia dalam menghadapi Islam politik, terorisme dan radikalisme. Banyak negara yang terjebak problem menguatnya Islam politik, radikalisme dan terorisme. Bila berkaca pada pengalaman AS maka banyak negara akan mengalami stagnasi seperti yang dialami AS. Lebih berat lagi kalau masih negara berkembang.
Tatkala AS gamang menghadapi semua itu, Cina bangkit. Meski masih menerapkan ideologi Marxisme dan Leninisme, Cina tak menjadi hitungan AS untuk dianggap berbahaya karena mengganggap Cina telah melakukan keterbukaan ekonomi semenjak Den Xiaoping naik tahta. Deng juga berkomitmen untuk secara perlahan melakukan keterbukaan politik.
Fukuyama dan Huntington sama sekali gak menghitung Cina. Sementara AS sibuk ‘War on Teror‘, Cina fokus memajukan ekonomi, mengumpulkan kekayaan dan mengembangkan teknologi selama 2 dekade terakhir ini. Sekarang Cina menjadi negara perekonomian terbesar kedua dan sebentar lagi menuju yang pertama.
Tatkala Cina sudah makin kaya dan maju teknologinya mereka mulai tancapkan pengaruh politik dengan klaim ‘Nine Dash Line‘ (sembilan garis putus) di Laut China Selatan dan membangun pulau baru yang dijadikan pangkalan militer.
Baru-baru ini mereka mengakuisisi Hongkong yang waktu Deng memimpin rencana akan dilepas penuh mandiri. Dalam pidato 100 tahun perayaan Partai Komunis Cina, Xi Jinping kembali lagi meneguhkan akan menyatukan Taiwan ke dalam Cina. Dunia goncang dengan geliat naga setelah lama terjebak masalah ‘War on Teror‘.
Dalam rangka mengembangkan ekonominya lebih ekspansif dan meluaskan pengaruh ke negara lain, Cina meluncurkan program OBOR (One Belt One Road). Mereka bekerjasama dan memberikan bantuan pembangunan infrastruktur.
Militer Cina juga terus melakukan moderinisasi Alutsista yang menyaingi peralatan tempur Barat. Barat menduga di balik OBOR adalah pembangunan instalasi militer. Xi Jinping meneguhkan apa yang mereka lakukan adalah untuk melaksanakan tujuan Sosialisme yang Berkarakter Cina Untuk Era Baru (‘Socialisme With Chinese Characteristic For a New Era’).
Negara G7 resah dengan dominasi OBOR Cina dengan respon membuat tandingan ‘Build Back Better World‘ yang memberikan bantuan serupa dengan OBOR ke negara Lain. BBBW ditawarkan Presiden Amerika Joe Biden dalam pertemuan G7. Keadaan geopolitik dapat dilihat trendnya ke depan pada kompetisi Barat vs Cina dengan Islam politik sebagai ‘shadow power‘ yang membayangi.
Negara berkembang harus segera melakukan konsolidasi kebangsaan dan menyusun rencana jangka panjang pembangunan manusia dan infrastruktur yang mandiri. Problem ‘War on Teror‘ harus segera dituntaskan tak boleh menjadi sumber perpecahan. Perlu juga me-‘review‘ manfaat demokrasi liberal yang membuat daya tahan bangsa menurun.
[***]