“SEJARAH tidak pernah berulang, yang berulang adalah kegagalan kita dalam belajar dari sejarah”. Voltaire (1733).
Proses penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korusi (KPK) yang keduakalinya, menunjukan ada permasalahan yang serius dalam sistem Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Sampai saat ini Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) tidak melihat upaya yang serius dari Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pembenahan. MK tidak hanya sebagai pelengkap negara demokrasi, namun sebagai sarana kontrol warga negara dari upaya pemerintah melakukan pelanggaran HAM melalui regulasi yang dikeluarkan.
PBHI sebagai bagian dari gerakan masyarakat yang memiliki visi terwujudnya kewajiban negara dalam melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi, mendorong untuk dilakukan tindakan segera untuk melakukan pembenahan Mahkamah Konstitusi dengan cara :
Pertama, seleksi Hakim MK masing membuka ruang “keterwakilan†partai politik.
Walaupun Mahfud MD dan Hamdan Zoelva pernah menjadi kader partai dan bekerja sebagai wakil rakyat di Senayan. Namun, “keterwakilan†partai politik di MK akan menimbulkan kecurigaan yang mendalam.
Hal ini diatur dalam Calon Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 18 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
Tentu kita berharap ke depan ada ketegasan bahwa Hakim MK wajib memuat syarat “tidak pernah†menjadi kader partai. Bila, syarat ini dinyatakan mendiskrimiskan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi aktif dalam pemerintahan atas dasar hak asasi manusia.
Maka, syarat lanjutan bisa diambil dengan ketentuan “tidak terlibat†dalam seluruh aktifitas kepartaian (berhenti) minimal 15 tahun. Dengan syarat ini diharpkan bisa membersihkan calon hakim MK dari keterikatan dengan partai tertentu.
Kedua, Hakim MK sejak awal hingga sekarang tidak memiliki pengawas tersendiri. Padahal dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, ketiadaan pengawasan suatu lembaga akan menimbulkan “kebebasan yang kebablasan†dalam hal menjalani kehidupan personal. Kemudian, kebebasan ini akan memunculkan peluang-peluang “jahat†karena ada waktu dan kesempatan untuk berbuat kejahatan.
Atas dasar dua masalah ini, maka PBHI menilai perlu dipertimbangkan untuk melakukan perbaharuan total kelembagaan MK RI. Demi membaca “penyakit†di MK, PBHI menyarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. KPK wajib mengusut tuntas seluruh persekongkolan busuk yang dilakukan oleh Patrialis Akbar dkk. KPK juga penting melihat kembali dokumen sidang Akil Muchtar untuk membaca pola korupsi yang dilakukan antara kasus Akil Muchtar dan Patrialis Akbar. Selain itu, KPK dan Hakim Tipikor wajib memberikan “hukuman maksimal†(Pasal 2 Undang-Undang Tipikor bahwa hukuman minimal bagi terpidana kasus korupsi adalah 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara) bagi Patrialis Akbar mengingat posisinya sebagai Hakim MK berpotensi lebih jauh dapat diartikan telah “mengganggu/mengurangi marwah konstitusi Indonesia dan/atau keputusan persidangan MKâ€.
2. Hakim MK wajib membaca ulang seluruh keputusan MK, baik yang disetujui maupun mendapat pandangan berbeda dari dan oleh Akil Muchtar dan Patrialis Akbar. Kita patut curiga atas semua keputusan dan tindakan serja komunikasi akil muchtar dan patrialis akbar selama menangani kasus-kasus tertentu.
3. Mengingat Peraturan MK RI Nomor 2 tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi. Maka sejak penangkapan Patrialis Akbar, Dewan Etik wajib mengawasi seluruh Hakim MK beserta seluruh keluarganya secara ketat. Hal ini mengingat MK masih menjadi lembaga yang akan mengadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah serentak 2017 (Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 157 ayat (1), (2), (3), dan (4) Perubahan UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gurbernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Kita tidak ingin menjadi “keledai†dengan jatuh pada lubang yang sama untuk ketiga kalinya.
4. Sesuai dengan telah keluarnya Dewan Etik Nomor 3/DEHK/U.021112017, bertanggai 27 Januari 2017, perihal usulan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, adapun unsur-unsurnya MKMK terdiri atas lima orang, yakni masing-masing seorang hakim konstitusi, Anggota Komisi Yudisial (KY), mantan hakim konstitusi, guru besar bidang ilmu hukum, dan tokoh masyarakat. Namun, kembali mengingatkan bahwa kemungkinan munculnya gugatan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah. Maka, PBHI menilai MKMK wajib bekerja lebih cepat untuk menyelesaikan persoalan “pemberhentian†Patrialis Akbar dari posisi Hakim MK. Bila MKMK tidak terbentuk dan tidak cepat menyelesaikan “penyakit†yang menjangkiti MK, maka pihak-pihak yang dianggap memperlambat proses pembentukan dan/atau memperlambat kerja MKMK wajib dimintai pertanggungjawaban dan alasan memperlembat kerja tersebut.
5. Mengingat bahwa Patrialis Akbar menjadi hakim MK yang berasal dari usulan Pemerintah. Maka, PBHI meminta Pemerintah (dalam hal ini Presiden) diharapkan dengan tempo sesingkat-singkat langsung membentuk tim seleksi dan memberikan jangka waktu kerja minimal 30 hari dengan pertimbangan kegentingan waktu menghadapi proses sengketa hasil pemilihan pilkada 2017. Adapun calon-calonnya bisa dilihat dari para pendaftar di priodesasi sebelumnya. Pertama, para pendaftar terdahulu dikabari, lalu berkas “lama†kembali dibuka dan lakukan tahapan seleksi sebagaimana biasanya hingga mendapatkan tiga usulan dengan komposisi “2 laki-laki dan 1 perempuanâ€. Lalu, Presiden bisa memilih 1 dari ketiga usulan timsel sebagai pengganti Patrialis Akbar.
Oleh Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Totok Yuliyanto, S.H.