KedaiPena.Com – Perlindungan pada satwa liar yang dilindungi, tidak dapat hanya pada pengawasan eksternal saja. Tapi juga harus mengawasi faktor internal. Karena baik, eksternal maupun internal, semuanya memiliki potensial ancaman pada satwa dilindungi jika luput dari pengendalian.
Dewan Penasihat HarimauKita, Darmawan Liswanto menyatakan, dalam konservasi, perlu untuk terus melakukan evaluasi dari setiap upaya yang dilakukan dan me-review untuk menentukan langkah kedepannya.
“Salah satunya adalah melihat pada potensial ancaman pada harimau dari internal. Selama ini kita melihat pada ancaman yang berasal dari luar, apakah itu perburuan atau kehidupan pembangunan manusia tapi kita belum banyak membahas faktor intrinsik dalam populasi atau ekosistem harimau tersebut. Dibutuhkan multidisiplin dalam memastikan target konservasi dapat tercapai sesuai yang diinginkan,” kata Darmawan dalam diskusi HarimauKita The Invisible Threats, Rabu (28/7/2021).
Faktor intrinsik ini, lanjutnya, bisa mempengaruhi upaya konservasi yang sedang dilakukan.
“Sehingga perlu dipahami, apa saja potensial ancamannya dan setelah diskusi kita akan mulai memetakan apa yang harus dilakukan. Apakah perlu perubahan dalam konservasi untuk mencapai target konservasi. Atau apa yang sudah kita lakukan sudah tepat dan tinggal meningkatkan,” ucapnya.
Ia mengatakan, kerja sama dengan pemerintah, juga perlu dilakukan dalam melakukan inovasi dan terobosan dalam meningkatkan upaya konservasi di alam.
“Tidak hanya untuk harimau tapi untuk sumber daya hayati Indonesia. Dan penting juga dalam konteks konservasi ini untuk berkolaborasi dan berdiskusi lebih intensif dengan pihak kedokteran hewan untuk menghadapi faktor intrinsik, terutama yang berkaitan dengan penyakit,” ucapnya lagi.
Penyakit, kata Darmawan, juga memiliki potensi sebagai faktor yang dapat menurunkan atau memunahkan suatu ekosistem.
“Kita tidak boleh abai atau hanya konsen pada hal eksternal saja. Kita cegah perburuan tapi melupakan faktor reproduksi atau penyakit yang mungkin menghinggapi hayati kita,” tandasnya.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) drh. Indra Eksploitasia, MSi, menyatakan penyakit pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dapat berpotensi untuk menurunkan jumlah populasi.
“Harimai Sumatera merupakan satu jenis harimau Indonesia yang masih ada dan dilindungi serta masuk dalam spesies prioritas, setelah Harimau Bali dan Harimau Jawa dinyatakan punah. Jadi perlu dilakukan intervensi agar harimau ini tetap lestari di habitatnya,” kata Indra dalam kesempatan yang sama.
Penyebab kepunahan atau penurunan populasi bisa berasal dari menurunnya daya dukung habitat, konflik dengan manusia, menurunnya target buruan dan penyakit.
“Saat ini tercatat ada 600 individu harimau yang tersebar di 23 area secara random. Dan ada beberapa kamera yang menunjukkan adanya anakan. Yang artinya, ada peluang harimau ini tetap bertahan atau peningkatan populasi. Sehingga perlu dipantau, jangan sampai habitat terjaga tapi ternyata ada penyakit yang menyebar,” urainya.
Teridentifikasi ada 10 penyakit yang dapat menyerang jenis kucing besar, bukan hanya harimau, yaitu Canine Distemper Virus, Feline Calicivirus Virus, Feline Leukemia Virus, Feline Infectious Peritonitis Virus, Feline Herpes Virus, Feline Panleukopenia Virus, Feline Immunodeficiency Virus, Rhinotracheitis Virus, Rabies serta Tick bite Fever, Parasites and Tuberculosis.
“Sehingga penting untuk melakukan medis konservasi, yaitu upaya melakukan pemantauan penyakit di konservasi baik insitu dan exsitu berbasis surveillance,” urainya.
Perlu diwasapadai bahwa penyakit juga dapat timbul dari kegiatan domestifikasi akibat semakin seringnya persinggungan manusia dengan habitat liar.
“Contohnya, distemper, yang sudah dilaporkan beberapa negara terkait terpaparnya harimau. Dan sudah terpantau juga di beberapa konservasi di Indonesia,” kata Indra.
Solusinya adalah melakukan pengendalian dengan melakukan pengamatan, baik di habitat tanpa mengganggu individu terkait maupun pada saat rehabilitasi paska konflik.
“Harapannya, kita bisa mulai mengendalikan penyebaran penyakit di konservasi, yang manajemen ini bukan hanya khusus harimau saja tapi juga untuk semua spesies. Sehingga, tujuan konservasi dapat tercapai dengan baik,” pungkasnya.
Laporan: Natasha