KedaiPena.com – Sekuat apapun pemerintah menegakkan upaya perlindungan lingkungan, tanpa keterlibatan publik dan masyarakat semuanya sia-sia. Sehingga dalam mewujudkan perlindungan lingkungan, yang diperlukan adalah komitmen seluruh pihak dalam mewujudkan lingkungan yang lebih baik, untuk generasi selanjutnya.
Duta Besar Keliling Republik Indonesia untuk Pasifik Tantowi Yahya menyebutkan banyaknya bencana yang terjadi saat ini, mayoritas dilakukan oleh manusia. Semuanya diawali dengan pengelolaan sumber daya alam yang tidak lestari.
“Jika alam sudah sakit, maka banyak bencana terjadi. Mangrove kita cabut, maka air laut akan masuk ke daratan. Ozone Bumi bolong, maka terjadi peningkatan suhu dan pencairan es di kutub. Kalau manusia tidak mau ada perubahan lingkungan ya harus menegakkan tindakan yang berkelanjutan,” kata Tantowi dalam Roadshow Buku Jelajah Ujung Kulon, Kamis (14/4/2022).
Ia menyebutkan agar tindakan manusia bisa berkelanjutan maka diperlukan edukasi dan peningkatan literasi tenang lingkungan yang lestari dan bagaimana mencapainya melalui 17 program SDGs.
“Kenapa manusia merusak? Karena tidak punya pemahaman. Dan tak bisa hanya satu negara saja yang memahami dan negara tetangganya tak peduli. Karena saat ada satu negara yang tak peduli, dampaknya juga akan menghampiri negara yang tadi sudah menerapkan keberlanjutan,” ungkapnya.
Ia menyebutkan Indonesia pun masih memiliki banyak PR terkait lingkungan ini. Yaitu membangun literasi lingkungan pada masyarakat, tak hanya di kota besar tapi juga di daerah-daerah kecil.
“Contohnya, masih banyak rumah dibangun memebelakangi sungai, sehingga menjadikan sungai itu sebagai backyard. Artinya, jika menjadi backyard maka sampahnya akan dibuang kesana. Atau masih dilakukannya MCK di sungai, yang menyebabkan pencemaran,” ungkapnya lagi.
Tantowi menyebutkan walapun pemerintah secara terus melakukan edukasi tapi tanpa keinginan masyarakat untuk berubah maka proses perlindungan lingkungan atau konservasi tak akan dapat terwujud secara optimal.
“Pemerintah tak pernah lelah memberikan edukasitapi jika masyarakat tak mau merubah kebiasaan atau kultur yang dianggap benar maka perubahan akan sulit terjadi,” ucapnya.
Contohnya, kebiasaan membakar lahan karena dianggap cara termudah untuk membersihkan lahan. Akibatnya terjadi kebakaran hutan dan menimbulkan asap yang berdampak pada pencemaran lingkungan dana berdampak pada kesehatan.
“Solusinya adalah bagaimana dalam pembentukan kebijakan atau undang-undang, publik dan masyarakat bisa dilibatkan. Sehingga bisa ditemukan titik temu, yang tidak memberatkan semua pihak, pembangunan berjalan dan lingkungan tetap terjaga,” ucapnya lagi.
Yang jadi masalah, lanjutnya, adalah saat ada pihak yang berimprovisasi pada undang-undang dan aturan dibawahnya, yang sejatinya sudah sempurna itu.
“Akhirnya kan jadi tidak benar. Pada dasarnya tidak ada pemerintah yang dipilih rakyat akan merusak rakyatnya atau daerah yang dikelolanya. Tapi saat turun ke daerah, maka terjadi penyimpangan pada praktiknya. Misalnya, tambang yang berpotensi merusak sumber air. Padahal kan seharusnya tinggal follow the rules aja,” pungkasnya.
Laporan: Natasha